Praktik politik uang masih rawan terjadi di Sumsel. Sejumlah modus dilakukan, mulai dengan melibatkan tokoh masyarakat ataupun membayar sejumlah uang kepada saksi bayangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Praktik politik uang masih rawan terjadi di Sumatera Selatan. Oknum calon anggota legislatif diperkirakan menyasar kepada pemilih yang belum memiliki identitas politik. Sejumlah modus dilakukan, mulai dengan melibatkan tokoh masyarakat ataupun membayar sejumlah uang kepada orang yang akan menjadi saksi bayangan.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Musi Institute For Democracy and Electoral (MIDE) Andika Pranata Jaya, Minggu (14/4/2019). Andika mengatakan, tiga hari sebelum pencoblosan akan lebih banyak cara yang dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) untuk mendapatkan suara. Salah satunya adalah melalui politik uang.
Politik uang merupakan suatu cara yang paling jitu untuk mendapatkan suara. Biasanya pemilih yang menjadi incaran adalah mereka yang tidak memiliki identitas politik atau tidak memiliki kecenderungan memilih salah satu partai politik tertentu. Pemilih tersebut biasanya termasuk belum menentukan pilihan, terutama untuk pemilihan caleg.
Menurut dia, pemilih yang belum memiliki identitas politik ini cenderung belum memiliki pendirian untuk menentukan arah pilihannya. ”Biasanya pemilih jenis ini minim informasi terkait dengan partai politik atau caleg yang akan dipilih pada pemilu nanti,” katanya.
Andika mengatakan, transaksi politik uang paling rawan terjadi pada pemilihan caleg, terutama pada tingkat kabupaten dan kota. ”Itu terjadi karena hubungan antara calon yang dipilih dan pemilih sangat dekat,” katanya.
Di sisi lain, masih ada pemilih yang belum memiliki identitas politik karena adanya kebingungan dengan banyaknya partai politik yang berpartisipasi. ”Karena terlalu banyak pilihan, tentu akan sulit menemukan partai politik mana yang paling cocok dengan pemilih,” katanya.
Andika, ketua Bawaslu Sumsel periode 2012-2017 ini, mengungkapkan, praktik politik uang biasanya terjadi pada tahap prapencoblosan, di mana oknum caleg akan memberikan uang sebelum pemilih menentukan pilihan di tempat pemungutan suara (TPS). ”Oknum caleg ini melakukan metode prabayar bagi pemilih yang belum memiliki pilihan,” kata Andika.
Cara lain adalah dengan membayar orang untuk menjadi saksi bayangan di setiap TPS. Saksi ini juga ditugaskan menjaring pemilih dengan iming-iming uang. Selain itu, oknum caleg tersebut biasanya juga akan lebih tertarik apabila tokoh lokal berperan sebagai petugas KPPS/pengawas TPS agar bisa melakukan ”pengondisian” di TPS.
Kasus dugaan politik uang terjadi pada Sabtu (14/4). Bawaslu Lubuk Linggau mendapatkan laporan ada dugaan politik uang di Kecamatan Lubuk Linggau Barat 1. Sebuah kantong plastik yang berisikan sejumlah barang diserahkan untuk disimpan.
”Sampai sekarang kami belum membuka kantong plastik tersebut karena pemeriksaan masih berada di tingkat Panwascam Lubuk Linggau Barat I,” kata Koordinator Divisi Hukum, Penindakan Pelanggaran, dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Lubuk Linggau Bahusi.
Bahusi mengatakan, apabila proses pemeriksaan di tingkat Panwascam sudah selesai, akan ditindaklanjuti ke Bawaslu Kabupaten Lubuk Linggau untuk kemudian diproses. ”Kalau benar ini kasus politik uang, tentu akan kami arahkan ke tindak pidana,” ungkap Bahusi. Ini merupakan laporan pertama politik uang sejak posko pengaduan dibuka pada masa tenang.
Intinya, kami mengimbau agar masyarakat menolak segala bentuk politik uang yang terjadi jelang pemungutan suara.
Ketua Bawaslu Sumsel Iin Irwanto mengatakan, potensi politik uang di Sumsel itu ada. Untuk itu, sejak masa tenang dimulai, pihaknya sudah melakukan patroli dengan pola keliling kampung untuk memantau adanya potensi politik uang di sejumlah daerah.
”Sosialisasi kepada tokoh masyarakat juga telah dilakukan untuk menghindari adanya politik uang. Intinya, kami mengimbau agar masyarakat menolak segala bentuk politik uang yang terjadi jelang pemungutan suara,” kata Iin. Di sisi lain, pihaknya juga berharap ada peran serta masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, termasuk pelanggaran pemilu.
Selama pelaksanaan kampanye, lanjut Iin, pihaknya telah mengumpulkan 28 kasus laporan pelanggaran pemilu. Paling banyak terkait alat peraga kampanye (APK), yakni sebanyak 27.850 pelanggaran. ”Banyak peserta pemilu yang tidak membereskan APK-nya,” kata Iin. Pelanggaran APK memang tidak dikenai sanksi, tetapi hanya imbauan untuk segera membereskan APK tersebut.