Anggaran untuk Lima Pimpinan MPR Baru Belum Dialokasikan
Anggaran baru akan diajukan oleh Sekretariat Jenderal MPR jika revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 sudah disahkan.
Oleh
INSAN ALFAJRI DAN KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat belum memasukkan kebutuhan anggaran untuk lima pimpinan MPR baru dalam anggaran yang diajukan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020. Kebutuhan anggaran pun belum dihitung.
Sekretaris Jenderal MPR Ma\'ruf Cahyono dihubungi Kompas, Minggu (15/9/2019), mengatakan pagu anggaran tahun 2020 untuk MPR sebesar Rp 603 miliar, kemudian usulan penambahan anggaran menjadi Rp 843 miliar yang diajukan saat rapat dengan Komisi III DPR awal September lalu, masih belum termasuk kebutuhan untuk lima pimpinan MPR baru jika revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 disahkan.
Anggaran yang disusun dan diusulkan Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR masih mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3. UU MD3 ini seperti diketahui, mengamanahkan pimpinan MPR hanya terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Namun saat ini, DPR dan pemerintah telah menyetujui merevisi aturan itu, sehingga pimpinan MPR periode selanjutnya, 2019-2024, akan terdiri atas satu ketua dan sembilan wakil ketua.
Setjen MPR dalam menyusun anggaran, Ma\'ruf menekankan, harus mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan saat ini undang-undang yang berlaku masih UU 2/2018, maka Setjen MPR mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan lima pimpinan MPR.
"Kelak jika UU 2/2018 direvisi dan jumlah pimpinan ditambah, kami akan menghitung kebutuhan anggarannya, dan mengajukan anggaran tersebut ke pemerintah," ujar Ma\'ruf.
Sementara terkait kapan revisi UU MD3 dibawa ke Rapat Paripurna DPR agar bisa disetujui untuk disahkan menjadi UU oleh DPR, Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, masih menunggu rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
“(Jadwal rapat paripurna) tergantung pembahasan Badan Musyawarah,” kata Supratman.
Rencana penambahan UU MD3 menuai penolakan dari banyak kalangan. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, sikap sejumlah fraksi partai politik di MPR yang memaksakan penambahan pimpinan MPR merupakan bentuk pemborosan. Terlebih jika melihat fungsi pimpinan MPR hanya sekadar simbolis atau juru bicara dari MPR, (Kompas, 22 Agustus 2019).
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Umbu Rauta, pun menentang rencana penambahan pimpinan MPR tersebut.
Menurutnya, tugas pimpinan MPR hanya melantik presiden dan wakil presiden, amendemen konstitusi atau memberhentikan presiden dan wakil presiden. Selain tiga hal itu, fungsi pimpinan MPR lebih seperti juru bicara yang bertindak atas nama anggota MPR. “Kalau tugasnya hanya itu, untuk apa banyak-banyak jumlahnya? Apalagi sampai sepuluh orang,” katanya.
Usulan penambahan itu, dia melanjutkan, sangat elitis. Tidak ada manfaatnya secara langsung bagi masyarakat. Dalam arti kata lain, manfaatnya hanya untuk elite karena terkait dengan bagi-bagi kekuasaan di antara partai politik yang mendapatkan kursi di parlemen.