UU KKR Dihidupkan, Langkah Hukum Tetap Harus Dilanjutkan
Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu berharap mekanisme yudisial dan ekstrayudisial harus ditempuh dalam penyelesaian kasus hak asasi manusia masa lalu. Keduanya saling melengkapi.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menghidupkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan tidak menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Langkah hukum, khususnya terhadap kasus yang penanganannya mandek di Kejaksaan Agung, tetap harus dilanjutkan.
Utomo Rahardjo, bapak dari Petrus Bimo Anugerah, korban penculikan aktivis 1998, mendukung rencana pemerintah yang ingin menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu melalui Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Setidaknya ada harapan, kebenaran bisa terungkap setelah UU KKR itu dijalankan.
”Aku ikut saja. Selama itu terbaik bagi keluarga korban, aku ikut saja,” katanya saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2019).
Penasihat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Mugiyanto, pun mendukung rencana tersebut. Hal ini membuktikan pemerintah masih berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.
UU KKR merupakan mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu di luar pengadilan. Ini, menurut dia, mungkin saja ditempuh karena tidak semua kasus HAM masa lalu bisa dibawa ke pengadilan.
Kendati demikian, dia berharap UU KKR bukan satu-satunya solusi. Upaya hukum terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang mandek di Kejaksaan Agung tetap harus dilanjutkan.
Kasus hukum yang dimaksud adalah peristiwa 1965-1966; kasus Talangsari, Lampung, 1989; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; peristiwa kerusuhan Mei 1998; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; Wasior dan Wamena; peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Aceh, serta kasus Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh.
”Mekanisme yudisial dan ekstrayudisial tidak boleh saling mengunci, tidak boleh saling menutup. Keduanya komplementer,” katanya.
Mekanisme yudisial dan ekstrayudisial tidak boleh saling mengunci, tidak boleh saling menutup. Keduanya komplementer.
Untuk diketahui, UU KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006. Menurut MK, UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan pembatalan ini, wahana penyelesaian kasus HAM berat masa lalu yang telah diupayakan sejak 2000 mati di tengah jalan.
Dihubungi terpisah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, menyatakan, UU KKR penting karena dapat membuat peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu terungkap secara komprehensif.
Untuk pengungkapan, katanya, bahan-bahan penelitian yang dilakukan Komnas HAM dan lembaga masyarakat lainnya bisa menjadi salah satu bahan.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu utang Presiden Jokowi. Periode pertama tidak berhasil. Harus terwujud pada periode kedua. Kalau tidak, berarti Jokowi ingkar janji.
Dia pun berharap upaya pemerintah menyelesaikan kasus HAM masa lalu, yang terlihat beberapa pekan terakhir, sungguh-sungguh bisa menuntaskannya.
”Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu itu utang Presiden Jokowi. Periode pertama tidak berhasil. Harus terwujud pada periode kedua. Kalau tidak, berarti Jokowi ingkar janji,” katanya.
Kemarin, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, pemerintah berencana menghidupkan lagi UU KKR sebagai salah satu jalan untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat. Semua pihak akan dilibatkan dalam pembahasan.
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dan 2020-2024 akan disahkan 10 Desember 2019. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menghidupkan lagi UU KKR, pemerintah diharapkan menyiapkan materinya sebelum tenggat waktu 10 Desember.
Untuk diketahui, rancangan undang-undang baru bisa dibahas DPR dan pemerintah setelah masuk Prolegnas. ”Soal UU KKR sampai saat ini belum ada usulan dari pemerintah,” katanya melalui pesan singkat, Selasa pagi.