Selain Harun Masiku, ada sejumlah nama yang lolos dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka adalah pasangan suami-istri Sjamsul Nursalim dan Itjih serta saksi kunci bernama Royani.
Oleh
INSAN ALFAJRI/I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi tak selamanya mampu menghadirkan tersangka korupsi ataupun saksi kunci untuk mengembangkan perkara korupsi. Beberapa dari mereka menghilang, bahkan ada yang lolos dalam operasi tangkap tangan KPK, seperti Harun Masiku.
Harun menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu setiawan. Tatkala KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 8-9 Januari 2020, mantan calon anggota legislatif dari PDI-P itu sebetulnya menjadi salah satu target.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, tim KPK mendeteksi keberadaan Harun di sekitar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. KPK pun mengirim tim ke lokasi tersebut. Namun, tim tidak berhasil menangkap Harun karena kehilangan jejak yang bersangkutan, seperti dilaporkan Kompas, 31 Januari 2020.
Harun yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 9 Januari lalu tak kunjung ditemukan. KPK pun memasukkan Harun ke daftar pencarian orang (DPO) per 17 Januari. Masyarakat yang mengetahui keberadaan Harun diharap melapor ke kantor polisi terdekat atau menghubungi 198 (call center KPK).
Selain Harun, pasangan suami-istri Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sudah lebih dulu berada dalam DPO KPK. Mereka menjadi tersangka dalam dugaan korupsi terkait Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bahkan, KPK pun menyurati NCB Interpol National Central Bureau Interpol perihal bantuan pencarian melalui red notice terhadap keduanya. Namun, hingga kini Sjamsul dan Itjih yang berada di luar negeri belum juga menghadap ke lembaga antirasuah itu.
Merunut lebih jauh ke belakang, KPK dibantu Polri juga tak bisa mencari Royani. Padahal, mantan pegawai negeri sipil di Mahkamah Agung (MA), yang sehari-hari menjadi sopir mantan Sekretaris MA Nurhadi, tersebut menjadi saksi penting dalam pengembangan kasus dugaan suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Komisioner KPK 2010-2014, Busyro Muqoddas, menuturkan, pada masa kepemimpinannya, ada sejumlah nama besar yang masuk ke DPO. Mereka adalah mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dan istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti.
M Nazarudin kala itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap pembangunan wisma atlet Hambalang untuk SEA Games ke-26. Sementara Nunun tersangkut kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Keduanya ditangkap di luar negeri.
Nunun ditangkap di Thailand pada Desember 2011. Nazarudin terlacak kabur ke Kolombia, tetapi berhasil dipulangkan ke Indonesia pada Agustus 2011.
Menurut dia, tidak ada kesulitan berarti dalam mencari keduanya meski mereka kabur ke luar negeri dan dekat dengan kekuasaan. ”Kuncinya ada pada profesionalitas, independensi, dan loyalitas tunggal pimpinan KPK,” katanya.
Busyro menerangkan, ia bersama pimpinan KPK lainnya, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, menjaga betul independensi dan loyalitas tunggal mereka. Loyalitas tunggal yang ia maksud terlihat pada Bibit yang merupakan pensiunan Polri.
Karena telah pensiun dari Korps Bhayangkara, secara otomatis Bibit tak punya konflik kepentingan dengan institusi Polri. Loyalitas Bibit pun kemudian hanya kepada KPK. Selain itu, mekanisme pengawasan internal di KPK juga berjalan baik. Ada Wadah Pegawai (WP) KPK dan juga penasihat KPK yang bertugas mengawasi pimpinan.
Hal itulah yang sekarang dinilainya tak ada pada pimpinan KPK. Ia mencontohkan Ketua KPK Firli Bahuri yang hingga saat ini masih aktif sebagai perwira Polri. ”Atas dasar itu maka ada soliditas di antara pimpinan struktural dan patuh pada aturan main yang ada. Itulah yang menjadi modal utama mengapa DPO yang dulu relatif tidak ada hambatan mendatangkannya,” katanya.
Tidak pernah ada intervensi, baik dalam bentuk lunak maupun lugas.
Faktor lain yang menurut dia penting untuk dilakukan adalah koordinasi dengan Polri. Tanpa adanya bantuan dari Polri kala itu, agak berat untuk memulangkan DPO, terutama yang berada di luar negeri. Hal itu karena KPK harus bekerja sama dengan kepolisian internasional, yang mana dalam kasus ini dijembatani oleh Polri.
Satu hal yang perlu diingat, tambahnya, ketika memimpin KPK, pemerintah ataupun partai berkuasa tak pernah mengintervensi KPK. Situasi itu turut mendukung kerja KPK. ”Tidak pernah ada intervensi, baik dalam bentuk lunak maupun lugas,” ujarnya.
Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional yang juga mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Polri Bekto Suprapto menjelaskan, ruang gerak orang yang masuk DPO terbatas. Sebab, dia bisa langsung ditangkap ketika bertemu aparat di lapangan. Lalu, polisi menyerahkan orang tersebut ke institusi yang mengeluarkan DPO.
Namun, masalahnya, kata dia, belum tentu semua polisi dan masyarakat mendapat informasi tentang DPO itu. Oleh karena itu, masih sangat mungkin DPO bepergian selama petugas bandara, pelabuhan, terminal, ataupun stasiun kereta api tidak mengetahui identitasnya.
”Yang penting dalam DPO adalah informasinya disebarkan sebanyak mungkin dan seluas mungkin. Informasi itu juga harus disambut dengan kepedulian dari aparat ataupun masyarakat,” katanya.