Penerapan E-court dan E-litigasi Cegah Korupsi Peradilan
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, seluruh pengadilan di bawah MA harus melaksanakan e-court dan e-litigasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak 2019, Mahkamah Agung telah melakukan sejumlah terobosan, di antaranya dengan penerapan e-court atau layanan peradilan secara elektronik, mulai dari pendaftaran perkara, pembayaran panjar uang perkara, sampai pemanggilan persidangan.
Pada 2020 ini, MA mewajibkan seluruh pengadilan meningkatkan pelayanan itu dengan program e-litigasi atau persidangan yang dilakukan secara elektronik dengan cara meminimalkan para pihak untuk bertatap muka dan datang ke kantor pengadilan.
Hakim Agung Syamsul Ma’arif dalam bincang-bincang ”Kampung Hukum 2020” di Jakarta, Selasa (25/2/2020), mengatakan, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, seluruh pengadilan di bawah MA harus melaksanakan e-court dan e-litigasi.
Ma’arif mengatakan, aturan itu dibuat untuk mewujudkan sistem peradilan yang murah, cepat, dan sederhana kepada masyarakat. Selain itu, pelayanan ini merupakan jawaban atas persepsi para pelaku usaha yang mengatakan bahwa proses peradilan di Indonesia belum memberikan pelayanan terbaik.
Dalam survei Bank Dunia disebutkan, nilai pelayanan peradilan di Indonesia baru mendapatkan nilai C+. Biaya peradilan, misalnya, dinilai masih tinggi, yaitu mencapai 75 persen dari nilai perkara. Hal itu dinilai turut menghambat kemudahan investasi di Indonesia. Padahal, Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan akan menyederhanakan perizinan dan mempermudah investasi. Salah satu permasalahan yang menghambat, menurut Presiden, adalah di bidang hukum.
Selain itu, penerapan sistem elektronik itu diharapkan juga dapat mencegah dan memberantas korupsi peradilan.
”Peradilan sekarang harus murah karena penggugat tidak perlu datang ke pengadilan. Cukup ajukan gugatan lewat elektronik. Pengacara tidak perlu menunggu hakim untuk menyerahkan jawaban. Panggilan juga tidak perlu delegasi,” kata Ma’arif.
Dengan sistem elektronik ini, sistem pemanggilan persidangan, misalnya, bisa disederhanakan. Sebab, pengadilan dapat memanggil langsung pihak yang beperkara ke domisili elektronik yang didaftarkan di sistem e-court. Ini mengubah metode konvensional yang mengharuskan surat pemanggilan dikirimkan ke pengadilan negeri, baru ke penggugat. Metode itu banyak memakan waktu dan biaya.
”Ini menguntungkan mereka yang kaya ataupun yang miskin. Yang kaya diuntungkan karena biaya peradilan semakin murah, sedangkan yang miskin juga tidak perlu mengeluarkan biaya tinggi,” kata Ma’arif.
Saat ini, lanjut Ma’arif, tren jumlah perkara yang masuk ke pengadilan juga semakin banyak. Dengan sistem peradilan elektronik, diharapkan penyelesaian perkara dapat dilakukan lebih efisien. Perkara yang mudah dapat diselesaikan dengan cepat sehingga penumpukan penyelesaikan perkara dapat dihindari.
Dengan e-litigasi, mereka yang beperkara pun dapat mengecek perkembangan peradilan secara berkala. Sistem peradilan semakin transparan dan memberikan pelayanan terbaik kepada para pencari keadilan.
Kendala
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Prim Haryadi menambahkan, Perma No 1/2019 juga meningkatkan pelayanan administrasi perkara dan persidangan. Replik dan duplik dapat disampaikan secara online.
Meski demikian, dalam persidangan di peradilan umum, terkadang yang masih menjadi kendala adalah saat pembuktian. Beberapa pengadilan di Indonesia sudah memiliki fasilitas teleconference, tetapi banyak juga yang belum memilikinya. Selain itu, sistem administrasi dan peradilan online ini juga terganjal kendala jaringan internet yang belum merata di banyak daerah.
Kendala tersebut dijanjikannya akan diselesaikan secara bertahap dan tidak mengganggu target capaian peradilan elektronik yang dicanangkan MA.
”Sekarang, seluruh Indonesia juga sudah diwajibkan melakukan e-litigasi. Putusan akan disampaikan secara elektronik sehingga tidak perlu dibacakan di persidangan lagi,” kata Prim.
Namun, putusan majelis hakim yang disampaikan melalui elektronik ini, menurut dia, masih mendapatkan kritikan dari para advokat. Para advokat menilai putusan perkara tetap harus diucapkan di persidangan supaya sah dan berkekuatan hukum. Oleh karena itu, MA akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan advokat.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badila) MA Aco Nur menambahkan, ada sembilan aplikasi yang diluncurkan dari Direktorat Jenderal Badila MA untuk mendukung pelayanan yang cepat. Aplikasi dibuat untuk mendukung program e-court dan e-litigasi.
Aplikasi antrean sidang, misalnya, memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memilih waktu persidangan di pengadilan.
Selain itu, aplikasi notifikasi yang memberikan informasi jalannya perkara di persidangan sehingga pihak yang beperkara tahu proses yang sedang berjalan.
”Kami juga bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penyelesaian Kemiskinan atau TNP2K. Masyarakat tidak perlu lagi datang ke RT/RW dan lurah untuk meminta surat keterangan miskin. Jadi, para pencari keadilan yang berstatus ekonomi miskin akan langsung dibebaskan dari biaya perkara,” kata Aco.
Di Ditjen Badila MA, sudah ada 38.787 perkara yang masuk dalam e-court hingga 2020. Sementara perkara yang diselesaikan melalui e-litigasi sudah mencapai 1.417 perkara. Seluruh pengadilan agama di Indonesia juga sudah menerima perkara secara e-court dan e-litigasi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara MA Lulik Tri Cahyaningrum mengatakan, sudah 100 persen pengadilan tata usaha negara menggunakan program e-court. Animo masyarakat terkait dengan program e-court ini sudah sangat tinggi.
Sudah 50 persen pengadilan tata usaha negara tidak menerima administrasi konvensional. Mereka hanya melayani sistem e-court. Sistem ini dinilai mempermudah dan efisien.
”Kendalanya adalah sejumlah pihak masih belum teliti saat mengunggah dokumen ke aplikasi e-court. Akhirnya dokumen harus dikembalikan lagi ke penggugat. Kami masih perlu sosialisasi lagi ke masyarakat,” kata Lulik.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Juniver Girsang mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh MA. Pemberlakuan e-court dan e-litigasi menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia sudah transparan. Advokat pun harus melek teknologi informasi.
Junivert berharap ke depan, MA terus meningkatkan pelayanan tersebut supaya pelayanan yang mengandalkan teknologi informasi itu dapat berjalan tanpa gangguan.