MA Perketat Aturan Cegah Covid-19, Sejumlah Sidang Tetap Harus Digelar
Mahkamah Agung merevisi surat edaran pencegahan Covid-19 sebelumnya. Dalam aturan yang baru, pencegahan lebih ketat. Namun, sejumlah persidangan tetap harus digelar. Apa saja itu?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung membuat aturan lebih ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Meski demikian, persidangan perkara pidana, militer, dan jinayah yang terdakwanya ditahan dan masa penahanannya tak dapat diperpanjang tetap harus digelar. Pelaksanaannya mengikuti protokol korona yang telah dikeluarkan pemerintah.
Aturan lebih ketat itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali, Senin (23/3/2020). Surat tersebut merevisi Surat Edaran (SE) Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020.
Dalam SE terbaru itu disebutkan, mengacu pada asas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto), terkait situasi terkini penyebaran Covid-19, MA mengambil langkah antisipasi untuk pimpinan, hakim, dan aparatur peradilan pada MA ataupun badan peradilan di bawahnya.
Jika sebelumnya hakim dan aparatur peradilan harus tetap bekerja di kantor seperti biasa, kini hakim dan aparatur peradilan dapat menjalankan tugas kedinasan dari rumah. Pekerjaan yang dapat dilaksanakan dari rumah itu misalnya administrasi persidangan yang memanfaatkan aplikasi e-court, persidangan dengan aplikasi e-litigasi, koordinasi pertemuan, dan tugas kedinasan lain.
Selain itu, MA mengatur sistem piket minimal dua level pejabat struktural tertinggi pada setiap satuan kerja untuk tetap bekerja di kantor. Hal ini dimaksudkan agar layanan peradilan kepada masyarakat tidak terhambat.
Pertimbangan bagi hakim dan aparatur peradilan untuk dapat bekerja dari rumah di antaranya adalah jenis perkara yang ditangani, jenis pekerjaan yang dilakukan, dan peta sebaran Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah. Pertimbangan lain adalah domisili pegawai, kondisi kesehatan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, kondisi kesehatan keluarga, serta ibu hamil dan menyusui.
Selain itu, hakim dan aparatur yang menggunakan moda transportasi umum, waktu tempuh ke kantor, riwayat perjalanan, riwayat interaksi dengan pasien positif Covid-19, serta efektivitas pelaksanaan tugas dan pelayanan.
”Setelah memperhatikan semua aspek tersebut, dipandang perlu mengeluarkan SE yang merumuskan kebijakan MA dalam menyikapi penyebaran virus korona,” ujar Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, Senin (23/3/2020).
Saat ditanya apakah di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya sudah ada temuan kasus pasien positif Covid-19, Andi mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima informasi mengenai hal tersebut.
”Kami baru mencari datanya. Kami belum tahu apakah benar ada pasien positif Covid-19 di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya,” kata Andi.
Selain mengatur mekanisme bekerja dari rumah, SE MA terbaru juga mengatur sejumlah aturan yang berkaitan dengan protokol korona.
Protokol yang diatur dalam SE MA tersebut di antaranya peniadaan presensi dengan menggunakan sidik jari (fingerprint attendance machine), menjaga jarak aman dan menggunakan alat pelindung diri (APD) selama masa pembatasan sosial, penyediaan cairan basuh tangan (hand sanitizer), termometer inframerah, serta aturan agar menunda perjalanan dinas ataupun kegiatan yang memicu kerumunan massa.
Sebagai gantinya, rapat dan pertemuan dapat digelar dengan telekonferensi ataupunkonferensi video. Seluruh pedoman tersebut berlaku hingga 5 April 2020 dan akan dievaluasi kembali sesuai perkembangan terkini.
Terkait dengan aturan persidangan di pengadilan tingkat pertama, Andi mengatakan, persidangan perkara pidana, militer, dan jinayah tetap dilaksanakan khusus terhadap perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi.
Adapun perkara yang masa penahanan terdakwanya masih lama dapat ditunda. Penundaan persidangan dapat dilakukan dengan hakim tunggal.
Selain itu, untuk perkara yang dibatasi jangka waktu pemeriksaannya oleh ketentuan perundang-undangan, hakim dapat menunda pemeriksaannya. Hakim dapat memerintahkan panitera pengganti untuk membuat berita acara kejadian luar biasa sebagai alasan penundaan pemeriksaan.
Sementara dalam perkara yang tetap harus disidangkan, pelaksanaannya harus menaati aturan protokol korona. Aturan tersebut seperti pembatasan pengunjung sidang yang menjadi kewenangan majelis hakim, pembatasan jarak aman antarpengunjung sidang, deteksi suhu badan, larangan kontak fisik, serta penggunaan APD, seperti masker dan sarung tangan medis.
”Persidangan di peradilan tingkat pertama itu, kan, yang melibatkan beberapa pihak, seperti pemeriksaan saksi-saksi, pengunjung, sehingga perlu diatur,” kata Andi.
Terkait dengan potensi penumpukan perkara karena penundaan persidangan, Andi mengatakan, hal itu berpotensi dialami pengadilan tingkat pertama.
Adapun persidangan perkara di tingkat banding dan Mahkamah Agung, menurut dia, masih bisa disiasati karena tidak menghadirkan banyak pihak selama persidangan.
Oleh karena itu, sejumlah perkara yang mendesak diselesaikan tetap akan dilaksanakan dengan protokol pencegahan korona. Sementara perkara-perkara yang bisa ditunda dapat ditunda karena negara sedang mengalami krisis kesehatan akibat Covid-19.
Kebijakan baru BKN
Tak hanya Mahkamah Agung, Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga mengeluarkan kebijakan baru untuk pegawai di lingkungan BKN setelah mencermati semakin merebaknya Covid-19.
Kebijakan yang tertuang dalam SE Nomor 3/SE/III/2020 itu merevisi SE Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 2/SE/III/2020 tentang Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) bagi Pegawai di Lingkungan BKN.
Dalam SE terbaru itu disebutkan, semua pegawai BKN bekerja dari rumah, kecuali pegawai yang bertugas pada unit kerja yang terkait dengan kegiatan pelayanan protokol, pelayanan kesehatan, pelayanan persuratan, pengamanan, teknisi, pengemudi, dan pelayanan kebersihan. Komposisi pegawai yang masuk dalam jenis-jenis pekerjaan tersebut pun diatur, yakni 10 persen bekerja di kantor dan 90 persen bekerja dari rumah. Komposisi ini mengubah SE sebelumnya yang menetapkan perbandingan pegawai yang bekerja di kantor dan dari rumah masing-masing 50 persen.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat BKN Paryono, pegawai yang bekerja dari rumah tetap berhak mendapatkan pembayaran tunjangan kinerja.