Pemda Mengaku Kesulitan Mengalokasikan Tambahan Anggaran Pilkada
Pemerintah daerah kembali meminta pemerintah pusat membantu menyediakan tambahan anggaran Pilkada 2020 yang diperlukan untuk menjalankan protokol kesehatan Covid-19. Sementara itu, Kemendagri mendorong optimalisasi NPHD.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pilkada 2020 berpotensi akan membengkak di luar dana yang telah disepakati di naskah perjanjian hibah daerah atau NPHD karena belum melingkupi unsur pengamanan. Sejumlah daerah kembali meminta pemerintah pusat membantu penambahan anggaran pilkada karena ruang fiskal daerah sudah tertekan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany, dalam webinar ”Kesiapan Pelaksanaan Pikada Tahun 2020”, Rabu (10/6/2020), mengatakan, pengetatan protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada ternyata tak hanya menambah anggaran penyelenggara pemilu di daerah, tetapi juga anggaran pengamanan. Anggaran pengamanan di NPHD juga diteken tanpa memperhitungkan situasi pandemi.
”Kemarin, yang sering menyampaikan kesulitan pembiayaan itu KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), ternyata di pengamanan juga akan ada penambahan karena mengingat jumlah TPS (tempat pemungutan suara) bertambah dan mereka harus dilindungi protokol kesehatan,” ujar Airin, yang juga Wali Kota Tangerang Selatan.
Seperti diberitakan sebelumnya, agar pilkada tetap berjalan 9 Desember 2020 dengan memperhatikan protokol Covid-19, jumlah pemilih di setiap TPS akan dikurangi dari maksimal 800 orang menjadi maksimal 500 orang. Dengan begitu, KPU memproyeksikan jumlah TPS bertambah dari 253.929 menjadi 311.978 TPS. Selain itu, pengadaan alat protokol kesehatan Covid-19 dibutuhkan.
KPU dan Bawaslu pada 3 Juni mengusulkan tambahan anggaran Rp 2,8 triliun hingga Rp 5,9 triliun, bergantung pada tingkat keketatan penerapan protokol Covid-19. Jumlah ini di luar sisa anggaran dalam NPHD pilkada Rp 9 triliun saat tahapan pilkada dihentikan akibat pandemi akhir Maret.
Airin menyampaikan, dampak pandemi sangat terasa terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karena itu, ia meminta kepada penyelenggara pemilu di daerah agar mengoptimalkan terlebih dahulu anggaran di NPHD yang telah disepakati. Bahkan, apabila mungkin, dilakukan efisiensi kegiatan. Dengan begitu, sisa anggaran bisa digunakan untuk tambahan anggaran akibat pengetatan protokol kesehatan.
”Keluhan dari teman-teman (Apeksi) dalam arti bukan tak mau menjalankan (pilkada), tetapi kita tahu bagaimana PAD di wilayah masing-masing dengan Covid juga sangat-sangat bermasalah bagi kami,” tutur Airin.
Di tengah ruang fiskal daerah yang tertekan itu, Airin meminta pemerintah pusat, yakni Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, agar mencari solusi jika ada penambahan pembiayaan akibat pemenuhan protokol kesehatan.
”Kami siap, apalagi dibantu pembiayaan dari pemerintah pusat,” katanya.
Harapan serupa disampaikan Bupati Lebong, Bengkulu, Rosjonsyah. Menurut dia, peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan jika pembengkakan anggaran di luar NPHD terjadi.
”Dengan protokol kesehatan membutuhkan biaya besar, peran pemerintah pusat dan Kemendagri sangat diharapkan,” ujar Rosjonsyah.
Dihubungi terpisah, Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar menuturkan, sampai saat ini, belum ada usulan tambahan anggaran di luar NPHD yang disampaikan penyelenggara pemilu di daerahnya.
Pemda, lanjut Sehan, akan meminta penyelanggara pemilu untuk mengoptimalkan dana NPHD yang telah disepakati sehingga tidak lagi membebani APBD. Sebab, saat ini ruang fiskal daerah sedang tertekan akibat pengeluaran dana yang besar untuk penanganan Covid-19.
Apalagi, kata Sehan, Boltim mengalami pemotongan dana transfer dari pemerintah pusat sebesar 50 persen, baik dana alokasi umum, dana alokasi khusus, maupun dana bagi hasil.
”Pemda akan melihat apakah permintaan tambahan anggaran rasional atau tidak. Sepanjang yang diusulkan memenuhi unsur kebutuhan dan tidak menyulitkan pemda,” tutur Sehan.
Sementara itu, Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Indah Putri Indriani, mengatakan, tak ada penambahan anggaran setelah dilakukan pertemuan dan asistensi dengan penyelenggara pemilu di daerahnya. Prinsipnya, tutur Indah, pemda berupaya memaksimalkan anggaran yang telah disepakati dengan memperhatikan kebutuhan penyelenggara di masa pandemi ini.
”Sekalipun ada kebutuhan tambahan lain yang sifatnya urgen, pemda akan men-support,” ucap Indah.
Namun, untuk menggeser anggaran di luar NPHD melalui APBD, menurut Indah, dibutuhkan payung hukum dari pusat. ”Pasti (butuh payung hukum) karena obyeknya berubah,” katanya.
Percepatan pencairan NPHD
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto mengatakan, berdasarkan Pasal 166 Undang-Undang No 10/2016 tentang Pilkada, pada prinsipnya, penganggaran pilkada dibebankan pada APBD. Namun, ada klausul pula bahwa penganggaran dapat didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, lanjut Ardian, Kemendagri ingin agar pemda mengoptimalkan dana di NPHD terlebih dahulu. Dia melihat, masih banyak daerah belum mencairkan dana tersebut. Dari 270 daerah dengan total NPHD sekitar Rp 14,98 triliun, yang sudah ditransfer ke penyelenggara pemilu baru sekitar Rp 5,8 triliun. Artinya, masih ada Rp 9,1 triliun yang belum ditransfer.
”Di mana 40 persen dari NPHD yang sudah ditransfer masih cukup untuk mendanai pelaksanaan tahapan awal tanggal 15 Juni,” kata Ardian.
Ardian menyampaikan, NPHD bisa dioptimalkan dengan cara mengurangi kegiatan, seperti perjalanan dinas dan bimbingan teknis yang dialihkan menjadi virtual. Dengan begitu, sisa anggaran bisa digunakan untuk pemenuhan protokol kesehatan.
”Itulah yang perlu dilakukan pemda saat ini,” katanya.
Sementara itu, anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020 saat ini tinggal menunggu diundangkan. Sementara PKPU Pilkada di tengah pandemi masih dalam pembahasan.
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), lanjut Pramono, juga mulai diaktifkan kembali pada 15 Juni 2020. Namun, mereka tidak langsung bekerja.
”Dari tahapan yang kami susun, badan ad hoc baru bekerja untuk verifikasi faktual dukungan calon perseorangan di akhir Juni,” tutur Pramono.