Anggaran daerah yang dicairkan lewat alokasi Naskah Perjanjian Hibah Daerah masih kurang dari 40 persen. Karena itu, Pilkada 2020 tak hanya terkendala anggaran tambahan pusat yang belum cair, tetapi juga dana NPHD.
Oleh
RINI KUSTIASIH/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembiayaan penyelenggaraan Pilkada 2020 tidak hanya terkendala dari anggaran pemerintah pusat yang belum cair, tetapi juga masih sedikitnya dana yang digelontorkan oleh daerah sebagaimana tercantum dalam naskah perjanjian hibah daerah. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan adanya daerah yang pencairan dananya dalam NPHD masih di bawah 40 persen.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (24/6/2020), di Jakarta, mengatakan, masih ada beberapa daerah yang mencairkan dana NPHD di bawah 40 persen dari yang disepakati dalam perjanjian itu. Kondisi itu menjadi perhatian pihaknya, karena pencairan dana dalam NPHD itu diharapkan bisa menjadi sumber pembiayaan bagi pilkada lanjutan.
”Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kami meminta NPHD agar segera dicairkan, khususnya bagi daerah yang baru mencairkan NPHD di bawah 40 persen. Pencairan dana NPHD itu diperlukan untuk memastikan kesiapan pilkada, dan meyakinkan dukungan anggaran ini betul-betul dapat dipenuhi oleh kepala daerah sesuai dengan NPHD,” kata Tito.
Rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia itu dihadiri juga oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad. Agenda rapat secara umum ialah membahas anggaran, evaluasi kinerja, dan rencana kerja Kemendagri serta DKPP Tahun 2021.
”Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kami meminta NPHD agar segera dicairkan, khususnya bagi daerah yang baru mencairkan NPHD di bawah 40 persen. Pencairan dana NPHD itu diperlukan untuk memastikan kesiapan pilkada dan meyakinkan dukungan anggaran ini betul-betul dapat dipenuhi oleh kepala daerah sesuai dengan NPHD.”
Tito mengatakan, dalam koordinasi dengan pemda itu, pihaknya juga memetakan kebutuhan daerah, merekap kemampuan anggaran daerah, terutama dalam konteks pemenuhan alat perlindungan diri (APD). Kebutuhan-kebutuhan daerah itu akan dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait, seperti Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan.
Pencairan anggaran NPHD secara bertahap diatur lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pendanaan Kegiatan Pilkada yang Bersumber dari APBD. Dalam aturan tersebut, pencairan NPHD dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama, paling sedikit 40 persen dari nilai NPHD harus telah dicairkan paling lama 14 hari kerja setelah penandatanganan NPHD. Selanjutnya, tahap kedua paling sedikit 60 persen paling lama lima bulan sebelum hari pemungutan suara atau 9 Juli 2020.
Berdasarkan data Kemendagri yang dihimpun Kompas, hingga Rabu (24/6/2020), ada 30 daerah yang nilai transfernya ke Bawaslu masih di bawah 40 persen. Kemudian, setidaknya 32 daerah yang nilai transfernya ke KPU belum mencapai 40 persen. Adapun Pilkada 2020 akan digelar di 270 daerah.
Terkait dengan anggaran pilkada, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Junimart Girsang, mengatakan, hingga tahapan pilkada dimulai 15 Juni 2020, anggaran yang menjadi komitmen pemerintah pusat, yakni Rp 1,02 triliun, belum dicairkan. ”Ini mesti jelas Pak Mendagri, kan pemerintah menjelaskan pada 9 Desember 2020, kita siap. Ini sudah bulan enam, besok bulan tujuh. Apakah mungkin Pak, penyelenggara bisa bekerja, kan tidak mungkin. Mereka (penyelenggara) sudah mau turun Pak. Tolong periksa ke daerah, bagaimana mereka (pemda) melayani penyelenggara. Jangan sampai penyelenggara terpapar dan tahapan terkapar,” ujarnya menjelaskan.
Menurut Junimart, persoalan anggaran ini mesti menjadi perhatian pemerintah. Dana itu harus segera digelontorkan untuk penyelenggaraan pilkada. Hubungan komunikasi antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, diharapkan dijalin dengan baik, sehingga setiap kendala keuangan itu bisa teratasi segera.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan, anggaran Rp 168 miliar dari pemerintah untuk memberikan stimulus kepada daerah dalam melakukan sosialisasi dan simulasi tatanan kehidupan baru (new normal) kepada masyarakat melalui sarana video, seharusnya bisa diberikan kepada setiap daerah untuk menambah anggaran pilkada. ”Selanjutnya, kalau tahun depan ada program seperti itu lagi sebaiknya dilakukan evaluasi,” ujar Yaqut.
Lakukan asistensi
Dihubungi terpisah, Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kemendagri Bahri menjelaskan, pihaknya terus melakukan asistensi terhadap daerah-daerah yang belum mematuhi Permendagri Nomor 41/2020.
Dari hasil asistensi, mayoritas daerah menyampaikan bahwa kekuatan fiskal daerah telah tertekan akibat pendapatan daerah yang juga tak mencapai target. Apalagi, daerah juga telah melakukan realokasi dana untuk penanganan Covid-19.
”Itu dijadikan alasan. Padahal, kan, kami sudah mengeluarkan surat Mendagri bahwasanya dana hibah tak boleh diganggu,” ucap Bahri menambahkan.
Bahri menegaskan, dari hasil evaluasi, tidak ada daerah yang mengotak-atik dana NPHD. Daerah hanya memiliki persoalan uang yang masuk ke rekening kasnya. Demikian juga jika ada pemasukan, daerah akan memprioritaskan untuk pembiayaan yang sifatnya belanja rutin, seperti gaji pegawai. ”Kadang dia prioritaskan dulu yang sifatnya belanja rutin, yang mengikat, yang harus dibayarkan terlebih dahulu. Hanya masalah waktu saja,” tuturnya.
Kemendagri juga sedang memetakan daerah yang masih tergantung pada dana transfer pusat sehingga menghambat pendapatan daerah. Hasil pemetaan itu akan langsung disampaikan kepada Kementerian Keuangan. Untuk diketahui, hampir 60 persen kekuatan fiskal daerah bergantung pada dana transfer pusat.
”Kami asistensi juga kalau misalnya ada dana bagi hasil yang kurang atau terlambat ditransfer. Kami berkoordinasi dengan Kemenkeu agar yang menjadi hak-haknya daerah bisa ditransfer,” ujar Bahri.
Bahri menyampaikan, kepala daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan kebijakan strategis atau prioritas nasional. Itu diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Bahri menyebutkan, pilkada merupakan salah satu kebijakan strategis nasional saat ini seperti diamanatkan UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
”Maka kalau dia tidak melaksanakan pencairan tepat waktu, berarti tak mendukung kebijakan strategis nasional, prioritas nasional. Karena itu, bisa diberikan sanksi,” ucapnya lagi.
”Kadang dia prioritaskan dulu yang sifatnya belanja rutin, yang mengikat, yang harus dibayarkan terlebih dahulu. Hanya masalah waktu saja.”
Pada Pasal 68 UU Pemda, lanjutnya, kepala daerah yang tidak mengikuti program strategis nasional dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian.
Bahri mengatakan, sanksi itu akan mulai diingatkan sehari setelah tenggat waktu pencairan tahap kedua berakhir. ”Kami ingatkan. Nanti keluarkan surat menteri (Mendagri) kepada gubernur untuk menegur karena gubernur, kan, perwakilan pemerintah pusat di daerah,” kata Bahri.
Direktur eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, Kemendagri memiliki tanggung jawab mendorong daerah untuk segera mencairkan NPHD, sebab Kemendagri adalah pembina pemda.
”Ini, kan, sudah ada komitmen politik dan secara administratif bisa dipenuhi. Kalau hambatannya di kepala daerah atau pemerintah daerah, sebagai pembina daerah, Kemendagri harus memastikan komitmen itu terpenuhi karena syarat utama protokol kesehatan dan tahapan lain ialah ketersediaan anggaran,” katanya.