Titik Krusial Menjaga Modal Sosial
Enam bulan di tengah pandemi Covid-19, modal sosial kepuasan publik terhadap pemerintah masih cukup tinggi. Namun, hal ini bisa tergerus bila persoalan tata kelola dan birokrasi tak kunjung teratasi.
Enam bulan di tengah berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19, modal sosial kepuasan publik terhadap pemerintah masih cukup tinggi. Namun, hal ini bisa tergerus jika persoalan tata kelola dan birokrasi yang menghambat penanganan wabah tak segera diatasi. Untuk itu, penyatuan gerak langkah dari pusat hingga ke daerah sangat diperlukan. Jika tidak, ancaman krisis sosial dan politik bisa menjadi kenyataan.
Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, 58,9 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan. Ada empat bidang yang diukur, yaitu politik dan keamanan, penegakan hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial.
Survei tersebut dilakukan dua kali, yaitu 9-12 Juni 2020 (995 responden), dan 25 Juli-12 Agustus 2020 (1200 responden).
Tingkat kepuasan masyarakat yang cukup tinggi bisa menjadi modal sosial bagi pemerintahan dalam menjalankan setiap kebijakan. Namun, jika soliditas kebijakan terus menjadi masalah dan kepala daerah tak bisa memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya, modal sosial itu sangat mungkin tergerus dan menjadi ancaman.
Baca juga: Kerja Birokrasi Masih Jauh dari Efektif
Pada 9 Agustus 2020, misalnya, ribuan warga memadati Pelabuhan Nusantara Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Tanpa memperhatikan protokol kesehatan, mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan Bupati Muna Barat, Laode Muhammad Rajiun Tumada, yang akan maju sebagai bakal calon kepala daerah Kabupaten Muna Barat di Pilkada 2020.
Empat hari setelahnya, pada 13 Agustus, massa membeludak lagi di pelabuhan itu. Rupanya, rombongan kali ini merupakan pendukung bakal calon petahana, Bupati Muna Rusman Emba. Ironisnya, tak cukup berkumpul di pelabuhan, mereka malah berjalan kaki sampai Tugu Jati, dengan diiringi oleh konvoi kendaraan yang membawa bendera partai.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian geram dengan ulah kedua bupati itu. Ia langsung mengirim surat teguran kepada mereka melalui Gubernur Sulawesi Tenggara.
”Tentu, kegiatan yang melibatkan orang banyak, apalagi banyak yang tidak memakai masker, bertentangan dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi dan memutus rantai penularan wabah Covid-19,” ujar Tito, Selasa (1/9/2020).
Insiden ini menunjukkan kepala daerah tidak bertanggung jawab terhadap situasi wabah di daerahnya. Parahnya, semua terjadi atas nama kegiatan politik.
Pekerjaan rumah
Sejauh ini, ada beberapa persoalan lain yang juga menghadang upaya mempercepat penanganan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satunya, rendahnya realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, hingga 27 Agustus 2020, realisasi belanja APBD baru sekitar 43,04 persen. Padahal, anggaran 2020 bakal berakhir empat bulan lagi. Di sisi lain, anggaran belanja tersebut diharapkan lebih cepat diserap agar dapat memacu perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Persoalan lain, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng melihat, sering kali terjadi disharmoni regulasi yang membuat aparatur birokrasi bingung.
Ia mencontohkan kebingungan yang dihadapi pemerintah desa setelah terbit Surat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor S.2294/ HM.01.03/VIII/2020 tanggal 4 Agustus 2020 tentang gerakan 500 juta masker.
”Ini problem banget. Di desa, sebagian besar dana desa sudah terpakai untuk hal-hal lain, entah itu BLT (bantuan langsung tunai), atau pelaksanaan program di desa. Nah, sekarang, Mendes keluarkan surat edaran yang sifatnya wajib, lalu dananya dari mana?” tuturnya.
Persoalan koordinasi di antara instansi pemerintah, dilihat Robert, juga masih mengemuka. Salah satunya terlihat dalam penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Akibat dari persoalan itu, masih banyak terjadi salah sasaran dalam pemberian bantuan.
”Membangun basis data yang solid dan sama dari pusat hingga daerah masih jadi pekerjaan rumah yang besar,” ujarnya.
Jiwa pemimpin
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, ada dua tipe kepala daerah yang akhirnya muncul ke publik di tengah pandemi ini. Pertama, kepala daerah yang inovatif dan memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). Kedua, kepala daerah yang hanya bekerja biasa-biasa saja atau medioker.
Kepala daerah tipe pertama tentu risikonya lebih besar. Sebab, mereka harus menabrak sejumlah aturan main di tengah birokrasi yang panjang, untuk mengambil keputusan yang cepat. Meski demikian, mereka tetap harus mengonsultasikan setiap keputusannya kepada aparatur pengawas internal pemerintah (APIP).
”Dia tahu, kalau keputusannya, vivere pericoloso, menyerempet bahaya. Tetapi, karena dia tegas dan berani, kan, (keputusan) ini juga untuk menolong rakyat, jadi jalan terus. Ada yang begitu, tetapi jumlahnya sedikit,” kata Djohermansyah.
Sementara itu, mayoritas kepala daerah mengambil posisi medioker. Mereka tidak mau mengambil risiko dan bekerja business as usual semata.
”Padahal, mereka, kan, penentu. Pemimpin di sana penentu, berhasil atau tidaknya wabah tertangani di daerahnya. Jika gagal, mereka bisa disebut pemimpin tidak bertanggung jawab,” kata Djohermansyah.
Tipe medioker ini sebenarnya sangat disayangkan. Sebab, kepala daerah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah penyebaran pandemi Covid-19, malah tidak berani membuat terobosan-terobosan di daerahnya.
Krisis sosial dan politik
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa mengatakan, penyaluran bansos menjadi salah satu masalah krusial yang patut diperhatikan. Sebab, banyak warga yang mengeluhkan belum menerima bansos. Penyaluran yang tidak tepat sasaran menyebabkan keresahan dan kemungkinan ketidakpuasan warga.
”Hal-hal semacam ini harus diperhatikan oleh kepala daerah dan pemerintahan untuk mencegah krisis sosial yang mengarah pada krisis politik. Di satu sisi, kebijakan pemerintah harus tegas dan jelas, sehingga tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat,” ujarnya.
Vidhyandika mengatakan, dalam penanganan pandemi Covid-19, pemerintah saat ini terlihat lebih fokus dalam mengatasi dampak ekonomi daripada dampak lainnya. Pada saat bersamaan, penularan yang masih masif terjadi kerap diasosiasikan dengan ketidakpatuhan warga terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19. Padahal, sikap warga yang semacam itu dipicu oleh apa yang mereka baca dan lihat, terutama dengan merujuk pada teladan yang diberikan pemerintah.
”Saat ini yang perlu dibangun ialah soliditas pemerintah lintas kementerian, maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini penting supaya satu suara, dan tidak ada proliferasi aturan dan kebijakan, yang berpotensi membingungkan masyarakat,” ungkapnya.
Vidhyandika menyebutkan, krisis sosial dan politik rentan terjadi jika tekanan akibat pandemi ini tidak mampu dinetralisasi atau ditangani oleh kepala daerah dan pemerintahan pusat. Bukan, tidak mungkin juga krisis ekonomi yang sementara ini muncul dimanfaatkan atau bahkan diprovokasi oleh pihak-pihak yang merupakan lawan dari pemerintah untuk mengambil keuntungan.
”Untuk timbulnya ketidaktenteraman sosial, dan sampai memuncak menjadi kerusuhan sosial, dan pada akhirnya krisis politik, itu bisa saja terjadi jika ada tangan-tangan tidak terlihat (invisible hands) yang bermain, termasuk dengan memprovokasi masyarakat. Tanpa provokasi pihak tertentu, untuk sampai pada krisis politik, itu sepertinya masih jauh,” kata Vidhyandika.
Oleh karena itu, menurut juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, masalah kesehatan dan ekonomi ini harus dituntaskan secara bersamaan.
Jika persoalan kesehatan diabaikan dan terlalu fokus ekonomi, penyebaran virus akan semakin tinggi. Namun, jika persoalan ekonomi diabaikan dan fokus kesehatan, ancaman resesi ekonomi di depan mata.
”Jika resesi terjadi, berikutnya lagi adalah krisis sosial. Dan kalau terjadi social unrest (keresahan sosial), seluruh jumlah korbannya akan jauh lebih banyak daripada yang kita lihat selama ini. Itu yang kita ingin hindari,” kata Wiku.
Pilkada dan intervensi kebijakan
Sekarang, menurut Wiku, yang patut disoroti adalah 270 daerah yang akan menggelar Pilkada 2020. Ini momentum emas bagi Indonesia untuk bisa keluar dari ancaman nyata akibat pandemi.
Mengapa pergelaran pilkada ini menjadi momentum emas? Sebab, 270 daerah itu ekuivalen dengan 49,27 persen dari 548 daerah di Indonesia. Hampir setengahnya. Adapun, dari 270 daerah itu, mayoritas bakal calon merupakan petahana.
Dari sinilah Wiku menilai, pilkada menjadi batu uji bagi para bakal calon petahana untuk melihat seberapa besar komitmen mereka terhadap penyelesaian dampak kesehatan dan ekonomi di daerahnya. Jika mereka gagal dalam menangani wabah, masyarakat berhak untuk tidak memilihnya kembali.
”Jadi, ini golden moment (momentum emas) supaya paling tidak hampir 50 persen daerah tadi bergerak. Nanti bisa dibandingkan dengan yang lain, yang tidak pilkada. Kelihatan (kepala daerah) yang malas. Kalau lewat pilkada, ya, sudah, mau pegang siapa lagi kita. Daerah tidak akan mau tahu dan selalu beralasan, tidak punya resource-nya dan lain-lain,” tutur Wiku.
Baca juga: Pandemi Jadi Batu Uji Kualitas Birokrasi
Wiku menyebut, di negara sebesar Indonesia, semua harus ikut ambil peran dalam penanganan wabah, mulai dari Presiden, para menteri, hingga kepala daerah. Jika Presiden dan para menterinya serius menangani wabah ini, setidaknya turut menyumbang kekuatan 50 persen. Sementara 50 persen lagi ada di tangan pemerintah daerah.
”Jadi, mau gas pol kayak apa saja, pemerintah pusat cuma bisa menyumbang 50 persen kekuatan. Jadi, semua harus bergerak karena ini adalah urusan kita bersama,” ujarnya.
Jangan sampai, kepala daerah yang seharusnya menjadi garda terdepan menangani wabah ini, malah menjadi akar masalah wabah. Segala kekakuan birokrasi dan ego sektoral pun harus mampu diluruhkan sehingga seluruh kekuatan bisa bersatu untuk mengatasi wabah.