Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 berpotensi memicu terjadinya korupsi. KPK telah memitigasi titik-titik rawan korupsi yang bisa dimanfaatkan petahana untuk korupsi, misalnya pada penyaluran bansos.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi korupsi di masa pilkada sangat besar, mulai dari pengumpulan dana kampanye hingga saat penyelesaian perselisihan di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan memantau seluruh tahapan proses pilkada di 270 daerah.
Tertangkapnya Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar pada Juli 2020 menunjukkan bahwa potensi korupsi untuk kepentingan pilkada sangat besar. Ismunandar ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus suap terkait proyek infrastruktur. Sebagian uang yang diterima Ismunandar diduga digunakan untuk kepentingan pilkada (Kompas, 4/7/2020).
Kasus Ismunandar hanya salah satu contoh dan kemungkinan potensi terjadinya korupsi di masa pilkada masih banyak. Apalagi, para petahana mendapatkan kucuran dana untuk penanganan pandemi Covid-19 yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan pilkada.
KPK telah memitigasi titik-titik rawan korupsi yang bisa dimanfaatkan oleh petahana yang akan mengikuti pilkada.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding, Selasa (8/9/2020), mengatakan, KPK telah memitigasi titik-titik rawan korupsi yang bisa dimanfaatkan oleh petahana yang akan mengikuti pilkada.
”Terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 saat ini, salah satunya dalam pengadaan barang dan jasa atau penyelenggaraan bantuan sosial, misalnya,” kata Ipi.
Ia menjelaskan, potensi benturan kepentingan calon petahana bisa terjadi. Petahana akan memanfaatkan bansos untuk memperoleh simpati warga demi meraih suara.
Oleh karena itu, KPK telah menyiapkan sejumlah program dan kegiatan kampanye sebagai bentuk edukasi. Di antaranya, KPK akan melakukan pembekalan terhadap calon kepala daerah, penyelenggara pilkada, dan serangkaian webinar untuk masyarakat sebagai pemilih.
Calon kepala daerah petahana atau dari unsur aparatur pemerintah diingatkan untuk tidak menggunakan instrumen, apalagi anggaran negara dalam kontestasi Pilkada 2020.
Ketua KPK Firli Bahuri mengingatkan terutama kepada calon kepala daerah petahana atau dari unsur aparatur pemerintah untuk tidak menggunakan instrumen, apalagi anggaran negara dalam kontestasi Pilkada 2020.
”Jangan pernah berpikir KPK akan kesulitan untuk memantau pergerakan, khususnya potensi tindak pidana korupsi dalam perhelatan pilkada serentak di 270 daerah. KPK tetap berkomitmen untuk memberantas korupsi dan tidak terpengaruh dengan proses pilkada,” kata Firli.
Ia menegaskan, pilkada adalah ranah politik, sedangkan penegakan hukum pada ranah berbeda. Karena itu, proses penegakan hukum tetap berjalan dan tidak terpengaruh oleh pelaksanaan pilkada.
KPK sudah membangun sistem khusus untuk memantau Pilkada 2020. Selain itu, KPK juga mendapatkan dukungan dari masyarakat yang aktif menyampaikan laporan dugaan tindak pidana korupsi di kanal Pengaduan Masyarakat KPK.
KPK sudah membangun sistem khusus untuk memantau Pilkada 2020.
Bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), KPK akan menyambangi calon kepala daerah untuk meminta mereka menandatangani pakta integritas, sebagai upaya pencegahan korupsi.
KPK berupaya penuh agar Pilkada 2020 tidak melahirkan koruptor baru seperti yang terjadi pada pilkada-pilkada sebelumnya. Ketika tak lama setelah dilantik, kepala daerah terpilih berstatus tersangka kasus korupsi.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, KPK memiliki kewenangan untuk menindak dugaan korupsi selama pilkada berlangsung. Jika ada laporan dugaan korupsi, Bawaslu akan mengirimkannya kepada KPK.
Titik rawan
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengingatkan, peluang terjadinya korupsi di masa pilkada sangat besar. Titik rawan terjadinya korupsi di masa pilkada dimulai saat pengumpulan dana kampanye. ”Pasangan calon mengumpulkan sumber-sumber dana kampanye, misalnya mengutip proyek negara,” kata Donal.
Peluang terjadinya korupsi di masa pilkada sangat besar. Titik rawan terjadinya korupsi di masa pilkada dimulai saat pengumpulan dana kampanye.
Petahana memiliki peluang melakukan korupsi yang sangat besar. Mereka bisa menyalahgunakan dana hibah dan bantuan sosial untuk penanganan Covid-19.
Selain itu, potensi korupsi juga terjadi pada saat berusaha mendapatkan dukungan partai yang dikenal dengan mahar politik. Proses selanjutnya, ada juga potensi jual-beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu hingga potensi korupsi saat penyelesaian perselisihan di Mahkamah Konstitusi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pengadaan barang dan jasa, suap, politik uang, serta mahar politik sering terjadi pada masa pilkada. Namun, sayangnya, sejauh ini tidak terdengar KPK melakukan pencegahan terhadap mahar politik.
”Kalau memang mau mencegah, rekening transaksi pasti sudah diketahui KPK dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” kata Feri.
Menurut Feri, KPK dapat melakukan banyak hal agar tidak terjadi politik uang. KPK dapat mengingatkan bahwa mereka memantau seluruh tahapan proses di 270 daerah yang menggelar pilkada. Namun, hal itu juga tidak dilakukan. Ia menegaskan, tugas tersebut seharusnya dilakukan KPK sebagai lembaga yang menganut sistem kolektif kolegial dan bukan kerja perseorangan.