Polemik Pilkada di Tengah "Amuk" Korona
Sejumlah negara menggelar pemilihan umum saat pandemi Covid-19. Mereka ketat menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Pemilihan juga digelar saat kurva penyebaran Covid-19 stabil. Bisakah dibandingkan dengan Indonesia?
Dengan menerapkan berbagai strategi, negara-negara yang menghelat pesta demokrasi di tengah pandemi global Covid-19, penyakit yang disebabkan virus korona baru atau SARS-CoV-2, berusaha tetap menjunjung tinggi perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) melaporkan, selama 21 Februari-9 September 2020, sebanyak 70 negara dan wilayah memutuskan untuk menunda pemilu nasional dan subnasional akibat Covid-19. Setidaknya 60 negara dan wilayah kemudian memutuskan mengadakan pemilu meskipun ada kekhawatiran terkait pandemi. Dari jumlah itu, 24 negara menggelar pemilu yang sempat ditunda.
Korea Selatan adalah salah satu negara yang berhasil menggelar pemilu legislatif pada 15 April 2020. Pemilu ini diikuti sekitar 11 juta pemilih, yang membuat tingkat partisipasi melesat menjadi 66,2 persen, tertinggi sejak tahun 1992. Partai Demokrat yang mengusung Presiden Moon Jae-in menang di pemilu itu.
Pemilu ini berlangsung ketika kurva penyebaran Covid-19 sedang stabil. Dalam implementasinya, kandidat berkampanye secara daring atau mengenakan masker dan sarung tangan ketika berkampanye di jalan. Pada umumnya mereka melakukan kegiatan sukarela berkaitan dengan kesehatan masyarakat saat turun ke jalan.
Petugas pemilu pun mengenakan alat pelindung diri ketika bertugas serta rajin membersihkan 14.000 tempat pemungutan suara. Mereka menyediakan masker, cairan pembersih tangan, sarung tangan, dan tempat memilih khusus bagi warga dengan suhu tubuh tinggi. Bagi pemilih yang sedang menjalani karantina, mereka boleh memilih setelah pukul 18.00. Pemilu ini berakhir tanpa menciptakan kluster Covid-19 baru.
Keberhasilan Korea Selatan menyelenggarakan pemilu kerap menjadi rujukan negara-negara yang belakangan juga hendak melanjutkan proses kontestasi elektoralnya, termasuk Indonesia.
Sementara itu, negara berkembang yang baru selesai menggelar pemilu legislatif adalah Sri Lanka pada 5 Agustus 2020 setelah sebelumnya ditunda dua kali akibat pandemi. Partai Barisan Rakyat (SLPP) pimpinan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa kembali memenangi kursi parlemen. Pemilihan umum itu berlangsung ketika kondisi Sri Lanka stabil dengan tercatat memiliki 2.839 kasus terkonfirmasi Covid-19, termasuk 11 orang meninggal.
Negara-negara lain yang telah menggelar pemilu antara lain Singapura, Mongolia, dan Jepang. Indonesia akan menggelar pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020 setelah ditunda dari seharusnya berlangsung pada 23 September.
Pilkada 2020
Pilkada di 270 daerah akan melibatkan sekitar 100 juta pemilih serta hampir 3 juta petugas penyelenggara pemilu di lapangan dan pengawas pemilu, belum termasuk petugas pengamanan. Apakah Indonesia mampu menggelar pilkada seperti negara-negara itu? Tidak hanya sukses dari sisi kualitas elektoral, tetapi juga dari sisi kesehatan, mampu menjaga tak muncul kluster Covid-19 akibat tahapan pemilihan.
Baru sampai pada tahap pendaftaran pasangan bakal calon peserta pilkada, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 243 pelanggaran protokol kesehatan pada 4-6 September. Kendati ada anjuran tidak mengumpulkan massa dan menggelar arak-arakan saat pendaftaran, banyak pasangan bakal calon melakukannya.
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, ada 62 bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah yang dinyatakan positif Covid-19 di 21 provinsi. Di Boyolali, Jawa Tengah, 96 petugas pengawas pemilu diketahui positif Covid-19. Seorang komisioner KPU Papua juga dinyatakan positif Covid-19. Seruan masyarakat sipil untuk menunda penyelenggaraan pilkada serentak 2020 pun makin nyaring mengingat Indonesia telah memiliki lebih dari 200.000 kasus Covid-19.
Baca juga: Disepakati Bersama, Penerapan Sanksi Lebih Keras bagi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada
Data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 9 September, dari 309 kabupaten/kota yang terlibat dalam 9 pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota, 45 kabupaten/kota atau 14,56 persen masuk daerah dengan risiko tinggi penularan Covid-19. Sebanyak 152 kabupaten/kota (49,19 persen) masuk risiko penularan sedang dan 72 kabupaten/kota masuk risiko rendah. Hanya 26 kabupaten/kota yang tidak mencatatkan kasus baru dan 14 daerah tidak terdampak Covid-19.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menekankan pentingnya penerapan protokol kesehatan ketat pada tahapan pilkada. Kampanye yang diperbolehkan, misalnya, adalah pertemuan terbatas yang dihadiri maksimal 50 orang dengan menjaga jarak sekitar 1 meter. Satgas Covid-19 lebih menyarankan kampanye dilakukan secara daring dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Pada Jumat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan penundaan Pilkada 2020. Alasannya, penyebaran Covid-19 yang belum terkendali membuat penyelenggaraan pilkada berpotensi melanggar sejumlah hak, yakni hak hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman.
Dalam keterangan persnya, komisioner Komnas HAM, Hairansyah, menyatakan, kesempatan menunda pilkada terbuka dengan adanya Pasal 201 A Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur soal penundaan pemungutan suara. Salah satu klausul menyebutkan, penundaan bisa dilakukan karena adanya bencana non-alam dan bisa dijadwalkan kembali setelah bencana itu selesai.
Tidak bisa disamakan
Secretary General Asia Democracy Network Ichal Supriadi mengatakan, keberhasilan suatu negara menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi tergantung dari banyak variabel, seperti kondisi politik dan ekonomi. Di masa pandemi, respons pemerintah juga berpengaruh. Menurut dia, sulit menjamin Indonesia berhasil menggelar pilkada seperti beberapa negara lain menggelar pemilu di tengah pandemi Covid-19.
”Pemilu di negara-negara itu lebih simpel karena mereka memiliki tatanan respons pemerintah yang baik terhadap pandemi, kampanye terstruktur, database rapi, lingkup pemilu yang lebih kecil, dan distribusi logistik yang mudah. Ini berbeda dengan Indonesia. Jadi, tak bisa apple to apple membandingkan dengan negara lain,” kata Ichal saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (9/9).
Ia melanjutkan, di masa pandemi Covid-19 seperti ini, penyelenggaraan pilkada tidak bergantung apakah negara itu negara berkembang atau maju, tetapi lebih pada efisiensi dan efektivitas respons pemerintah negara itu. Negara besar, seperti Amerika Serikat, saja masih kelabakan terkait pilpres 2020.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, menyebutkan, penyelenggaraan pilkada saat pandemi akan lebih sulit, rumit, dan mahal. Berbeda dengan negara lain, skala pilkada di Indonesia lebih besar karena melibatkan sekitar 100 juta pemilih.
”Kerangka hukum level undang-undang membuat penyelenggara sulit untuk berinovasi dan beradaptasi dengan situasi pandemi, seperti terkait penerapan sistem early voting, pemberian suara lewat layanan pos, atau lama waktu pemungutan suara untuk mencegah penumpukan di hari pencoblosan. Perubahan hanya terjadi di tataran teknis kesehatan yang menjadi kewenangan KPU,” kata Titi.
KPU mengatur protokol penyelenggaraan pilkada selama pandemi lewat Peraturan KPU (PKPU) No 6/2020 yang diubah menjadi PKPU No 10/2020. Dalam aturan itu, pertemuan fisik masih diperbolehkan, tetapi dibatasi jumlahnya.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, berpendapat, pemerintah perlu kembali menunda Pilkada 2020 serta memperbaiki aturan dan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan agar lebih tegas. Bulan lalu, Selandia Baru menunda pemilu dari 19 September menjadi 17 Oktober akibat kasus Covid-19 kembali merebak. Padahal, negara ini termasuk berhasil menangani pandemi.
”Penundaan pilkada tidak perlu sampai satu tahun, tiga atau empat bulan sudah cukup untuk merapikan protokol. Penundaan bisa dilakukan pada tahap verifikasi calon sekarang ini sehingga calon yang belum lengkap bisa melengkapi dokumen dan yang sudah lolos bisa menunggu,” tutur Hadar.
Dia melanjutkan, kepercayaan diri bahwa penyelenggaraan Pilkada 2020 akan berhasil selama pandemi hanya milik kaum elitis. Kasus-kasus yang terjadi di lapangan telah menunjukkan, peserta dan masyarakat tidak mampu menaati protokol kesehatan yang berlaku.
”Jawabannya adalah kita belum siap melaksanakan pilkada,” ujar anggota KPU periode 2012-2017 itu.
Dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (11/9), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, hingga saat ini belum ada alasan meyakinkan untuk menunda pilkada karena pandemi meskipun sudah ada usulan untuk ditunda. Pilkada tetap bisa berjalan dengan aman selama semua pihak mematuhi protokol kesehatan.
”Kalau pemerintah (daerah) tidak segera diganti menurut agenda konstitusional, kan, jadi masalah. Kalau alasannya pandemi, terus apa tidak ada pemerintahan? Pemerintahan harus jalan. Kalau kita tunggu habis pandemi, tidak ada yang tahu kapan selesai,” ujarnya.
Baca juga: Covid-19 Iringi Pilkada 2020
Pemerintah dan penyelenggara pemilu kini berupaya merumuskan sanksi lebih tegas bagi pelanggar protokol di tengah pandemi Covid-19. Targetnya, ketentuan itu sudah harus siap sebelum tahapan kampanye dimulai pada 26 September.
Kualitas demokrasi
Senior Program Manager for Asia and the Pacific International IDEA Adhy Aman mengingatkan, penyelenggaraan pemilu selama pandemi bisa memengaruhi kualitas demokrasi. Beberapa di antaranya tingkat partisipasi pemilih, akses pemilih yang rentan atau di luar daerah, transparansi proses pemilu, serta legitimasi hasil penghitungan suara.
Penurunan tingkat partisipasi pemilih, misalnya, terjadi di Australia, Perancis, dan Iran. KPU RI menargetkan tingkat partisipasi Pilkada 2020 mencapai 77,5 persen. Angka yang cukup tinggi mengingat pilkada digelar di tengah pandemi.
”Pemerintah perlu berdialog dengan akademisi, ahli epidemiologi, publik, dan partai politik mengenai penyelenggaraan pilkada ini. Ini agar keputusan yang diambil tidak sepihak. Kalau pemilihan terjadi saat kurva tinggi, laju penyebarannya menjadi lebih tinggi,” tuturnya.
Ichal menambahkan, pemilu merefleksikan kondisi sosial, politik, dan hak asasi manusia suatu negara. Namun, ujarnya, situasi terkini menunjukkan, pemerintah dan penyelenggara tak memiliki kekuatan untuk menjamin keamanan dan kesehatan masyarakat di tengah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah. Ini akhirnya memicu keraguan publik terhadap pilkada. ”Sudah saatnya semua pihak harus jujur, kita sanggup atau tidak?” kata Ichal.
Kalau menurut Anda, benarkah kita siap?
(REUTERS/CNN/BBC)