Pilkada Tuntas, Calon yang Kalah Ramai-ramai Menggugat ke MK
Hingga Jumat (18/12/2020) sore, 39 permohonan sengketa hasil Pilkada 2020 masuk ke MK. Regulasi baru diterbitkan MK untuk penanganan perkara hasil sengketa yang disebut akan lebih memberikan keadilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat pleno penetapan hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 di banyak daerah telah dituntaskan oleh Komisi Pemilihan Umum. Peserta pemilihan yang keberatan dengan hasil pemilihan pun mulai mengajukan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi atau MK. Hingga Jumat (18/12/2020) sore sudah ada 39 permohonan sengketa yang masuk ke MK.
Sejumlah permohonan yang masuk itu di antaranya perselisihan hasil pemilihan Bupati Lampung Tengah, Kaimana, Musi, Bulukumba, Karo, dan Konawe Kepulauan.
Permohonan sengketa hasil pilkada di MK dapat dilakukan secara daring menggunakan Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (Simpel). Pemohon juga dapat menyerahkan secara langsung permohonan melalui kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono Suroso, mengatakan, pengajuan permohonan sengketa hasil pilkada dimulai sejak 17 Desember 2020 atau setelah Komisi Pemilihan Umum yang menggelar Pilkada 2020 mengumumkan hasil pilkada.
Setelah pengajuan permohonan, kepaniteraan MK akan mengecek kelengkapan dokumen dan persyaratan. Setelah dinyatakan lengkap, MK akan mulai meregistrasi perkara. Jadwal registrasi perkara hingga 18 Januari 2021. Adapun perkara, menurut rencana, mulai disidangkan pada 26 Januari 2021.
”Persidangan sengketa hasil pilkada ini akan dimulai sejak Januari hingga April 2021,” imbuh Fajar.
Di tengah pandemi Covid-19, sebagian persidangan sengketa hasil pilkada akan digelar secara daring. Hanya majelis hakim yang berada di ruangan sidang. Pemohon dan kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara daring. Hanya saat sidang pembuktian, sidang dapat dilakukan langsung di Gedung MK karena pertimbangan teknis pemeriksaan. Pemeriksaan barang bukti diperkirakan akan sulit jika dilakukan secara daring.
”Namun, untuk persidangan secara luring, jumlah pengunjung di luar persidangan tetap kami batasi. Orang yang tidak berkepentingan tidak perlu datang. Demikian juga dengan pegawai akan dibatasi jumlah orang yang bertugas di dalam ruangan sidang,” kata Fajar.
Regulasi baru
MK juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Tahun 2020.
Salah satu yang krusial dari PMK terbaru itu mengenai penggunaan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Di Pasal 158 disebutkan syarat bagi peserta Pilkada 2020 yang dapat mengajukan gugatan hasil sengketa pilkada ke MK. Syarat dimaksud, perbedaan selisih suara harus berkisar antara 0,5 dan 2 persen dari total surat suara sah hasil rekapitulasi akhir yang ditetapkan oleh KPU daerah.
”Dalam PMK yang baru ini, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 (UU Pilkada) pada akhir perkara. Artinya, Pasal 158 tetap dipatuhi, tetapi itu menjadi kewenangan dari majelis hakim. Majelis memeriksa perkara dahulu dengan menggali informasi, mencari bukti-bukti, dan memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 (UU Pilkada) itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2020, November lalu.
Mahkamah berpendapat, jika permohonan sengketa hasil pilkada diproses tanpa mendengarkan keterangan para pihak, tetapi hanya mengacu pada Pasal 158, MK akan dianggap tidak adil. Padahal, posisi pemohon, termohon, dan pihak terkait berada pada kondisi yang sama.