Anggaran Hibah dan Bansos Naik Tajam, Dinilai Rawan Penyimpangan
JAKARTA, KOMPAS — Belanja pos hibah dan bantuan sosial dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di DKI Jakarta 2018 meningkat hingga lebih dari Rp 900 miliar jika dibandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017.
Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2017, dana hibah dan bantuan sosial (bansos) mencapai Rp 550 miliar dan Rp 2,5 triliun.
Oleh karena itu, pengajuan dan penggunaan dana ini perlu diawasi agar bisa membawa dampak yang positif bagi masyarakat.
Berdasarkan situs APBD DKI Jakarta, dana hibah dan bansos dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (RAPBD) 2018 mencapai sekitar Rp 1,6 triliun dan Rp 3,5 triliun.
Pertanggungjawaban belanja hibah dan bansos dinilai lemah oleh Koordinator Divisi Monitoring Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas.
Oleh karena itu, pengajuan dan penggunaan dana ini perlu diawasi agar bisa membawa dampak yang positif bagi masyarakat.
”Pertanggungjawabannya hanya berupa serah terima, pengakuan, atau penandatanganan. Karena itu, kedua jenis belanja ini paling rawan penyimpangan,” tuturnya saat dihubungi Kompas, Sabtu (2/12).
Penyimpangan yang dimaksud Firdaus dapat ditinjau dari sisi akuntabilitas dan isu kepentingan. Terkait akuntabilitas, pihak penerima dana perlu disoroti. Pemerintah harus mencermati kelompok-kelompok penerima dana itu jauh dari kepentingan politik.
Proses pencermatan itu, menurut Firdaus, membutuhkan verifikasi dalam hal kebutuhan dana, riwayat pembelanjaan anggaran, dan jumlah penduduk yang dilayani.
”Selain itu, verifikasi ini bertujuan agar penggunaan belanja hibah dan bansos tetap pada prinsipnya, yaitu tidak terus-menerus,” ujarnya.
Terkait isu kepentingan, Firdaus mengatakan, dana hibah dan bansos ini rentan manipulasi terhadap pembayaran dukungan politik.
Meskipun sudah ada kriteria yang menentukan pihak-pihak penerima dana, tetap ada sisi kebijakan kepala daerah yang memutuskan.
Firdaus berharap dana hibah dan bantuan sosial digunakan dan diawasi secara hati-hati.
Karena dana ini berpotensi menyejahterakan masyarakat yang dapat dijangkau kelompok tertentu, penggunaannya jangan sampai salah sasaran untuk acara fiktif atau kepentingan tertentu.
Sekretaris Komisi A DPRD dari Fraksi Gerindra Syarif menuturkan, verifikasi dan seleksi penerima dana hibah dan bansos dilakukan berdasarkan rekomendasi satuan kerja pelaksana daerah (SKPD) yang ada di DKI Jakarta.
Dia mencontohkan, Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia dan Persatuan Guru Republik Indonesia direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan Jakarta. ”Keduanya baru disebutkan akhir-akhir ini,” katanya.
Salah satu organisasi yang menerima dana bansos adalah Laskar Merah Putih (LMP). Syarif mengatakan, tidak ada intensi kepentingan politik dalam pemberian dana itu. Dana yang akan diberikan akan digunakan LMP untuk pendidikan bela negara.
LMP direkomendasikan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta. Menurut proposal yang diajukan, LMP meminta dana sebanyak Rp 1 miliar. Namun, dalam perencanaan, LMP diperkirakan akan mendapat dana bansos Rp 100 juta.
Terkait potensi kecurangan serta manipulasi penggunaan dana hibah dan bansos, Syarif mengatakan, pihaknya akan mencegah dan mengawasi secara ketat.
Penggunaan dana di atas Rp 100 juta akan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila ditemukan penyalahgunaan, konsekuensinya berupa pengembalian dana dalam batas waktu tertentu, bahkan hukum pidana.
Sementara penggunaan dana di bawah Rp 200 juta akan diawasi oleh inspektorat keuangan. ”Jika ada penyelewengan dana, sanksi yang dikenakan bersifat administratif,” ucap Syarif.
Sejumlah penduduk Jakarta pun mengharapkan penggunaan dana hibah dan bansos tepat sasaran.
Sementara itu, sejumlah penduduk Jakarta pun mengharapkan penggunaan dana hibah dan bansos tepat sasaran. Salah satunya Sahmal Nagabonar (40), ”manusia patung” yang menjadi obyek foto di kawasan Kota Tua, Jakarta, dan tinggal di Jatinegara selama lebih dari 17 tahun.
”Saya percaya gubernur sekarang hendak memberikan dana itu kepada lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat yang akan menyejahterakan masyarakat. Semoga tidak diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu,” tuturnya.
Sahmal mencontohkan kelompok masyarakat yang turun hingga ke rumah-rumah penduduk tidak sejahtera untuk memperhatikan kualitas kesehatan dan pendidikannya.
Kelompok tersebut dianggap layak menerima dana hibah dan bansos karena dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah.
Transparansi penerima dan penggunaan dana hibah dan bansos pun dinilai penting. Adi Susanto (40), musisi jalanan yang tinggal di Penjaringan, Jakarta Utara, mengharapkan keterbukaan rincian penggunaan dana.
Adi berharap dana hibah dan bansos diterima oleh yayasan, lembaga, komunitas, atau kelompok yang benar-benar membantu masyarakat.
Dia mencontohkan, pemerintah dapat memberikan bantuan dana kepada sejumlah guru untuk mengajar anak-anak jalanan.
”Ilmu lebih penting dari pada uang tunai. Kalau masyarakat seperti kami ini hanya menerima uang, bisa habis. Tapi kalau ilmu pengetahuan, bisa bertahan lama,” tuturnya.
Dana hibah dan bansos perlu diberikan kepada kelompok yang dapat membangun rumah singgah di beberapa titik untuk melayani pendidikan anak jalanan.
Pendidikan untuk anak jalanan memang ditekankan oleh Adi. Menurut dia, dana hibah dan bansos perlu diberikan kepada kelompok yang dapat membangun rumah singgah di beberapa titik untuk melayani pendidikan anak jalanan.
Bentuk pendidikannya tidak hanya pelajaran-pelajaran dasar dan formal, tetapi juga yang mengasah minat dan bakat.
Peningkatan layanan
Jika membahas RAPBD DKI secara umum, Adi berharap peningkatan anggaran dapat berdampak terhadap hunian layak bagi masyarakat kelas bawah. ”Bisa saja seperti rumah susun,” ujarnya.
Selain itu, Adi mengharapkan pembangunan transportasi umum di Jakarta segera selesai. Namun, pembangunan perlu diiringi oleh mental dan kebiasaan menggunakan kendaraan umum. Bahkan, dia mengusulkan, pajak kepemilikan kendaraan warga Jakarta ditingkatkan.
Pembangunan transportasi umum massal di Jakarta harus diiringi perubahan mental dan kebiasaan menggunakan kendaraan unum. Pilihan transportasi umum harus semakin banyak.
Sahmal pun menginginkan pilihan transportasi umum semakin banyak. ”Setiap hari saya berangkat dari Jatinegara pukul 07.00 ke Kota Tua dengan kendaraan umum. Sering kali saya menghabiskan waktu hingga tiga jam di jalan,” katanya.
Tidak hanya transportasi umum, Sahmal juga mengatakan bahwa birokrasi pelayanan kesehatan dan pendidikan perlu dibenahi. Sampai saat ini, dia belum memiliki Kartu Jakarta Sehat karena proses mengurusnya rumit. (DD09)