Pemulihan Harus Dimulai dari Penanganan Limbah Industri
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemulihan Sungai Citarum yang saat ini tercemar harus dilakukan secara masif dan terencana.
Sejumlah pegiat lingkungan hidup menilai, pemulihan perlu dimulai dari limbah industri sebab pencemaran industri merupakan sumber pencemar yang relatif mudah dikontrol dan diawasi.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan terjadi di sepanjang 279 kilometer (km) pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum selama puluhan tahun.
Kerusakan ini merugikan sekitar 20 juta warga di sekitar Sungai Citarum. Berbagai dampak buruk dirasakan, antara lain berdampak pada kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan keberlangsungan hidup lainnya.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Margareta Quina, mengatakan, selama 30 tahun, berbagai program dan gerakan untuk mendukung restorasi Sungai Citarum belum memberikan dampak yang signifikan.
”Citarum tetap tercemar berat oleh limbah industri, sampah, dan limbah rumah tangga,” ujar Margareta dalam diskusi media yang diadakan Koalisi Melawan Limbah di Jakarta, Senin (8/1).
Koalisi Melawan Limbah merupakan gabungan pegiat lingkungan yang terdiri dari Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), Lembaga Bantuan Hukum Bandung, dan ICEL.
Salah satu sumber pencemar yang signifikan di Sungai Citarum adalah limbah industri. Padahal, pengendalian limbah industri seharusnya bisa lebih mudah dikontrol dibandingkan dengan jenis limbah rumah tangga.
Menurut Margareta, salah satu sumber pencemar yang signifikan di Sungai Citarum adalah limbah industri. Padahal, pengendalian limbah industri seharusnya bisa lebih mudah dikontrol dibandingkan dengan jenis limbah rumah tangga.
“Kontribusi pada sektor industri jelas perlu izin sehingga bisa dikelola dan diawasi, terlebih untuk limbah yang dihasilkan. Teknologi pengolahan air limbah juga telah tersedia dan dapat disyaratkan serta relatif terjangkau oleh industri,” kata Margareta.
Saat ini, ada sekitar 2.700 pabrik yang berada di tepi Sungai Citarum. Sekitar 1.500 industri di antaranya berada di sekitar Bandung dan memproduksi limbah hingga 2.800 ton per hari.
Sementara baru 47 persen pabrik yang mengelola limbah menggunakan instalasi pengolahan air limbah. Sebanyak 53 persen lainnya membuang limbah mengandung logam berat berbahaya, seperti kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan arsenik, langsung ke sungai.
Menanggapi masalah ini, Koalisi Melawan Limbah sudah melakukan gugatan atas izin pembuangan air limbah kepada tiga perusahaan yang berada di daerah Rancaekek, Jawa Barat.
Ketiga perusahaan itu membuang limbahnya ke aliran Sungai Cikijing, yang bermuara ke Sungai Citarum. Ketiganya adalah PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, dan Five Star Textile Indonesia.
Ketiga perusahaan itu membuang limbahnya ke aliran Sungai Cikijing, yang bermuara ke Sungai Citarum. Ketiganya adalah PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa, dan Five Star Textile Indonesia.
Juru Kampanye Greenpeace Ahmad Ashov menyebutkan, dari gugatan tersebut, majelis hakim kemudian membatalkan ketiga izin perusahaan ini karena pemberi izin gagal mempertimbangkan terlampauinya beban pencemaran Sungai Citarum yang telah ditentukan.
”Pada 2016, kami sudah meneliti, di daerah Rancaekek, dampak buruk yang ditimbulkan beragam, mulai dari sektor peternakan, pertanian, perikanan, kualitas udara, hingga pendapatan masyarakat,” katanya.
Ketentuan dari pengendalian pencemaran air, ujar Ahmad, telah mensyaratkan secara eksplisit bahwa sumber air yang telah terlampaui daya tampung, apalagi sudah tercemar berat seperti Citarum, tidak lagi dapat diizinkan menerima air limbah.
Kualitas air Citarum sebelumnya sudah diuji pada 2016, dengan sampel di tujuh titik. Hasilnya, status mutu Citarum adalah D atau tercemar berat. (Kompas, 5 Januari 2018)
Ahmad menambahkan, kejadian tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar tegas dalam memberikan instrumen izin dalam mengelola pencemaran Sungai Citarum.
Selain itu, anak-anak Sungai Citarum lain diketahui belum ditetapkan kelas sungainya, tetapi sudah diizinkan menerima beban pencemaran.
Proses pemberian izin juga tidak melihat beban pencemaran di daerah lain yang berbeda wilayah administratif pemberi izin.
”Proses pemberian izin juga tidak melihat beban pencemaran di daerah lain yang berbeda wilayah administratif pemberi izin. Padahal, jika satu wilayah menghasilkan limbah tercemar, maka wilayah di sekitarnya bisa berdampak,” kata Ahmad.
Tata kelola limbah industri
Pengampanye Urban dan Energi Walhi Dwi Sawung menyampaikan, membenahi limbah indutri bisa menjadi langkah awal yang realistis bagi pemerintah dalam memangkas pencemaran Sungai Citarum. Beberapa usulan pun diajukan untuk membenahi tata kelola limbah industri.
”Sebagai langkah awal, pemerintah perlu memprioritaskan dalam melakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap DAS Citarum. Ini untuk mengetahui sumber-sumber pencemar beserta kontribusinya,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Dwi, moratorium dalam pemberian izin pembuangan limbah cair (IPLC) dan evaluasi semua IPLC harus dilakukan. Upaya ini perlu dilaksanakan agar alokasi beban pencemaran di DAS Citarum bisa sesuai.
Sementara perbaikan perizinan oleh pemerintah harus ditegakkan secara tegas. Menurut dia, saat ini jumlah petugas dan anggaran tidak proporsional sehingga pengawasan yang dilakukan pun tidak efektif.
”Pengawasan IPLC harus dilakukan oleh sumber daya manusia dan alokasi anggaran yang proporsional dengan jumlah industri yang diawasi,” ucap Dwi.
Penggunaan teknologi termutakhir harus digunakan secara intensif. Setiap industri yang merupakan pencemar berat diharapkan melakukan swapantau dengan alat pantau khusus.
Penggunaan teknologi termutakhir, lanjut Dwi, harus digunakan secara intensif. Setiap industri yang merupakan pencemar berat diharapkan melakukan swapantau dengan alat pantau khusus.
Data swapantau harus transparan dan dapat diakses publik dengan mudah. Hal ini bertujuan agar partisipasi publik lebih efektif dan pengawasan juga bisa lebih optimal.
Ahmad menambahkan, rehabilitasi DAS Citarum juga perlu dilakukan dengan mengombinasikan reboisasi, menegakkan tata ruang, mempertahankan wilayah resapan, serta mengedukasi dan memberdayakan masyarakat di hulu hingga hilir Sungai Citarum.
Selain itu, ujar Ahmad, dana pemulihan harus berasal dari pihak pencemar. Sekalipun dalam kondisi darurat pemerintah dapat menginisiasi penanggulangan dan pemulihan, mekanisme pengembalian dana harus tetap menjadi pertanggungjawaban pencemar atau industri.
Ia mengatakan, undang-undang di Indonesia mewajibkan pelaku pencemaran memulihkan fungsi lingkungan hidup, termasuk penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar, seperti remediasi, rehabilitasi, dan restorasi.
”Jangan sampai ketakpedulian industri membebani warga sekitar dan rakyat untuk pembayar pajak dengan kerugian pencemaran,” katanya. (DD04)