Asa Sungai di Masa Antroposen
Di muka bumi ini nyaris tidak ada yang alami. Manusia membawa perubahan masif bagi alam yang ditinggalinya. Manusia, terutama kebijakan pemimpinnya, berandil besar menentukan masa depan ’rumahnya’ itu.
Ada yang berbeda dengan sungai-sungai di Jabodetabek setidaknya dalam 5-10 tahun terakhir. Sebagian sungai yang mengaliri Ibu Kota dikeruk, diperlebar, dibeton. Di sana-sini muncul taman-taman di tepi kali, juga permukiman dan perkantoran berlatar bantaran yang lebih tertata. Pinggiran Cisadane di Kota Tangerang menjadi tempat nongkrong favorit warga. Di Sempur, Kota Bogor, warga bermain di taman sambil melihat Ciliwung.
Di luar yang kasatmata itu, kualitas sungai di Jabodetabek belum banyak berubah. Limbah rumah tangga dan industri tetap digelontorkan ke kali. Airnya berpolusi tinggi, masih jauh untuk menjadi air baku memasok air bersih perkotaan.
Namun, paling tidak, dari dampak kebijakan penataan kali itu, warga mulai melihat sungai secara berbeda, mulai menyukainya. Hal baik ini diharapkan berlanjut. Menjadi titik balik perubahan perilaku terhadap sungai juga alam tempat kita hidup.
Kawasan Jabodetabek terbentuk sejak ribuan tahun lalu. Gunung-gunung di kawasan Puncak, Bogor, dulu terus memuntahkan isinya dan membentuk dataran aluvial laksana kipas luas dialiri belasan sungai dan ratusan anak sungainya, penuh rawa-rawa, hingga bertemu dengan Teluk Jakarta. Air berlimpah, tanah subur, laut dan teluk yang menghubungkannya dengan jalur pelayaran dunia menyebabkan kawasan itu menarik minat manusia untuk tinggal dan berkembang.
Khususnya terkait dengan sungai, dalam buku A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories (2007), beberapa kali disebutkan masyarakat terbiasa memandang sungai sebagai berkah tetapi juga penghancur kehidupan. Sungai lantas lebih banyak direkayasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sungai tidak ditempatkan sewajarnya sebagai bagian dari alam dan memiliki hak berbagi ”hidup” yang sama dengan manusia.
Laporan penelitian Irawati M Johan tahun 1991-1992 berjudul ”Kota Jakarta 1950-1980: Sebuah Tinjauan Perkembangan Kota” menyebutkan sudah ada kerajaan besar berkuasa di Jabodetabek antara abad ke-12 hingga ke-16 Masehi. Sebelumnya, dari bukti-bukti arkeologis, hunian manusia ditemukan di Jabodetabek jauh sebelum abad ke-12. Pada abad ke-16 hingga beberapa tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, penjajah Belanda menguasai Jabodetabek.
Rekayasa sungai dan lingkungan alam yang sudah dirintis sejak prakolonial Belanda diteruskan dan makin masif saat penjajah menguasai Batavia. Ciliwung disodet, dibeton, dibentuk kanal-kanal baru demi kota indah ala Belanda, tetapi berbuah wabah penyakit mematikan seperti terjadi pada tahun 1733.
Saat Republik Indonesia berdiri, pemerintahan saat itu membolehkan lahan-lahan kosong termasuk bantaran sungai dihuni. Juga dibuka kampung-kampung baru seperti di Bendungan Hilir, Karet, Pasar Baru yang kini masuk wilayah Jakarta Pusat hingga ke Grogol, Jakarta Barat. Penduduk DKI pada tahun 1950 hanya sekitar 1,4 juta jiwa; pada 1960 jumlah penduduk Jakarta berlipat dua. Pada 1985 bisa tembus 6,5 juta jiwa.
Dari gubuk-gubuk menjadi rumah-rumah permanen dan hunian padat di seantero Jakarta seluas sekitar 660 kilometer persegi. Hunian padat mengepung kawasan cantik yang didesain untuk permukiman dan perkantoran seperti di Kebayoran Baru, juga poros Jalan Sudirman-MH Thamrin.
Irawati memaparkan, selain kebakaran, sampah, dan sosial kependudukan, di era pasca-kemerdekaan, banjir besar mulai mengakrabi Jakarta sejak tahun 1960-an. Hunian baru banyak menutup atau mempersempit sungai dan saluran air. Musim hujan identik dengan banjir dan warga yang sengsara. Pemerintah mencoba menanggulanginya dengan membuat Masterplan 1965-1985 yang isinya tak jauh beda dengan cara Belanda, membuat kanal-kanal dan waduk-waduk baru.
Kebijakan kanal berlanjut pada 2007-2012 dengan terwujudnya Kanal Timur yang menampung aliran Ciliwung, Cililitan, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Selama 2012-2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta fokus dengan program normalisasi sungai; pembangunan kanal/pengendali banjir; peningkatan pintu air; pemeliharaan polder atau tempat parkir air; pembangunan kolam dan sumur resapan; pembangunan waduk di hulu; dan konservasi situ.
Antroposen
Mengelola sungai memang dibutuhkan. Dalam buku Rivers of The Anthropocene (2017) dikatakan manusia akan selamanya tergantung pada sungai karena sungai adalah sumber air dan banyak aktivitas penting lain yang bersandar padanya, termasuk menjaga keseimbangan bumi. Namun, di era kini dan di masa depan, dibutuhkan simbiosis mutualisme antara manusia dan sungai. Jika tidak, maka kelangsungan sungai juga manusia itu sendiri di masa depan tidak terjamin.
Bruno Latour dalam ceramah berjudul ”Anthropology at the Time of the Anthropocene”, yang disampaikan dalam acara American Association of Anthropologist di Washington, Amerika Serikat, Desember 2014, menyatakan, masa antroposen adalah masa saat manusia diminta untuk bertanggung jawab atau lebih tegas lagi meningkatkan kemampuannya merespons.
Ia menyatakan, bagaimana dapat mengembalikan apa pun yang ada tetapi pada saat yang sama ”kekuatan alami” telah begitu berubah dengan melibatkan peran manusia di setiap potongannya.
Dalam Rivers of The Anthropocene disebut, ada 7 miliar penghuni bumi dan 50 persennya hidup di kawasan urban, termasuk di daerah aliran sungai. Dikatakan hanya sekitar 22 persen bagian bumi belum tersentuh manusia.
Akan tetapi, itu semua tidak meningkatkan pemahaman dan penguasaan kita hidup berdampingan dengan alam, termasuk sungai-sungai di dalamnya.
Perlu terobosan
Hadi Susilo Arifin, ahli manajemen lanskap dan ekologi daerah aliran sungai dari Institut Pertanian Bogor, seperti dikutip dari Kompas, 1 September 2016, menegaskan, sungai lebih baik ditata alami.
Akan tetapi, kondisi lapangan berkata lain. Tepi kali yang berbatasan dengan aspal jalan atau berkontur curam terpaksa diturap beton dengan tetap menyediakan lahan hijau dan jalur inspeksi antara sungai dan permukiman. Beton sebaiknya bercelah agar pohon atau semak bisa tumbuh. Penyerapan air ke tanah bisa terus terjadi.
Ia mengingatkan, prinsip normalisasi aliran sungai suka diterabas. Seharusnya tidak boleh meluruskan aliran yang berkelok. Sungai secara alami berkelok-kelok guna menahan air selama mungkin di daratan. Jika dibuat lurus, itu namanya kanal atau drainase yang membuat air cepat ke laut.
Di bantaran yang landai dengan lahan tersedia memadai, pendekatan non-betonisasi bisa diterapkan. Hamparan rumput dan tegakan pohon juga taman bisa dibangun di sana.
Bantaran yang diokupasi manusia sudah tepat jika dikembalikan menjadi hak sungai. Win-win solution antara hak sungai dan manusia bisa terwujud tanpa saling menepikan.
Selain itu, karakteristik sungai di kepulauan dan daratan benua sangat berbeda. Tidak bisa menyamakan sungai di Jakarta dengan kota di Eropa. Sungai lintas benua biasanya panjang, berarus tenang, dan jauh dari laut. Tinggal di tepiannya dianggap tak berbahaya.
Sungai di kepulauan itu pendek-pendek, ketinggian 0-1.000 meter di atas permukaan laut, arus deras dan cepat. Areal bantaran sungainya tak cocok untuk hunian atau tempat usaha.
Demi warga
Pada 2019, menjelang 75 tahun kemerdekaan, lama setelah era kolonial, pemahaman tentang pengelolaan sungai di Ibu Kota dan Jabodetabek masih juga belum terang benar. Di DKI, antara pusat dan pemerintah provinsi repot sendiri menentukan program naturalisasi atau normalisasi. Lebih dari satu tahun terakhir, revitalisasi sungai seret. Padahal, ego penguasa terbukti kadang membuahkan nestapa bagi warga, bagi alam lingkungannya.
Baca juga: ”Rebutan” Jakarta
Baca juga: Naturalisasi Anies dalam Surat kepada BBWSCC
Baca juga: Pusat Ingin Samakan Persepsi dengan DKI Jakarta
Baca juga: DKI Awali Naturalisasi di Tiga Waduk dan Dua Kali
Warga dan sungai tak ambil pusing dengan naturalisasi atau normalisasi. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan sungai dan kota yang berkeseimbangan antara kebutuhan manusia penghuninya juga alam tempat tinggalnya. Keberimbangan untuk masa kini yang selamat pun sukses di masa depan.
Sudah ada sederet bukti sejarah dan banyak ahli untuk dirangkul. Pemimpin sejati baiknya bisa menyingkirkan ego sektoral. Berpihak hanya demi kemaslahatan umat.
Sebagai pemimpin sejati, buktikan bisa menyingkirkan ego sektoral dan berpihak hanya demi kemaslahatan umat.