Jemari Erzal Amirudin (63) bergerak lincah di atas papan kayu mesin jahit tua miliknya. Sembari menjahit, ia berbincang dengan rekan di sebelahnya terkait situasi politik saat ini, termasuk kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Mereka bersyukur, situasi Palembang tak seperti ibukota negara.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Jemari Erzal Amirudin (63) bergerak lincah di atas papan kayu mesin jahit tua miliknya. Saat itu, dia sedang menjahit celana panjang kain milik pelanggannya di kolong Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (22/5/2019) . Sembari menjahit, ia berbincang dengan rekan di sebelahnya terkait situasi politik saat ini, termasuk kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Mereka bersyukur, situasi Palembang tak seperti ibukota negara.
“Untung Palembang tidak rusuh ,”ungkap Erzal. “Iyokalo rusuh kito yang saro, (Iya, kalau rusuh kita yang susah),” jawab Heri (31), penjahit yang membuka lapak di sebelah Erzal. Perbincangan itu terus belangsung seiring suara mesin jahit yang terus bergema. Erzal dan Heri adalah dua dari puluhan penjahit yang membuka lapak di bawah kolong Amprera.
Mereka tidak menyangka kerusuhan di Jakarta berdampak pada lumpuhnya ekonomi, hancurnya harta benda, bahkan membuat nyawa melayang sia-sia. “Entah apa yang mereka permasalahkan,” kata Heri. Erzal pun mengangguk setuju. Beberapa kali pekerjaan mereka terhenti untuk melayani pelanggan yang datang.
Kondisi Palembang yang tetap aman setelah pengumuman hasil pemilihan umum di KPU pusat, membuat Erzal dan Heri dapat bekerja dengan tenang. Mereka pun dapat memperoleh rezeki untuk menghidupi keluarganya. Dari hasil menjahit, mereka bisa meraup keuntungan hingga Rp 200.000 per hari.
“Lebih baik cari duit daripada buat rusuh,” kata Heri, sembari terus mengayuh pedal mesin jahit dengan kaki kanannya.
Heri menyayangkan, kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Menurutnya, kerusuhan hanya akan membawa kesengsaraan dan kerusakan. “Mungkin elit politik hanya melihat dari televisi kerusuhan tersebut, tetapi masyarakat kecil yang jadi korbannya,” ungkapnya.
Heri berharap, kerusuhan di Jakarta tidak meluas hingga ke Palembang, layaknya kerusuhan tahun 1998. “Waktu itu, untuk keluar rumah saja susah,” kata Heri.
Dia ingin elit politik mengajak para pendukungnya untuk menghentikan kerusuhan. “Seandainya dua calon presiden itu turun dan menenangkan massa tentu kerusuhan bisa berhenti,” kata Heri.
Sebenarnya, Heri juga kecewa dengan hasil pemilu kali ini. Calon presiden dan wakil presiden yang ia dukung dinyatakan kalah.”Tapi mau gimana lagi? Toh segala laporan kecurangan sudah dibawa ke MK (Mahkamah Konstitusi),” ujar pria lulusan sekolah menengah kejuruan negeri di Palembang ini.
Tidak hanya pejahit, sejumlah pedagang pun juga menjajakan dagangannya di sana, termasuk pengemudi mobil bak terbuka yang menawarkan mobilnya untuk mengangkut barang.
Marwan (48), pengemudi mobil bak terbuka, duduk di bawah kolong Jembatan Ampera sembari menunggu pelanggan. Untuk membunuh waktu, dia berbincang dengan pengemudi yang lain, juga terkait kerusuhan Jakarta.
Marwan berpendapat, masyarakat Palembang adalah masyarakat yang sudah dewasa sehingga tidak mudah termakan isu yang dapat merugikan diri sendiri. “Orang Palembang itu memang keras tapi tidak mudah terpancing,” ungkapnya.
Aktivitas ekonomi di Palembang berjalan normal. Pasar, perkantoran, perbankan, pusat perbelanjaan, hotel, dan sejumlah tempat kegiatan ekonomi pun tetap beroperasi seperti biasa.
Memang ada pemandangan berbeda di Kantor Bawaslu Sumsel. Kawat duri dibentangkan di depan kantor, kendaraan meriam air pun disiagakan. Namun hingga sore hari, tidak ada aksi unjuk rasa. Hal serupa juga terjadi di kantor KPU Sumsel.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Supriadi mengatakan, sehari setelah pengumuman hasil Pemilu, kondisi Palembang dan sejumlah daerah di Sumsel kondusif. Walau demikian, pengamanan terus dilakukan terutama di kantor Bawaslu Sumsel.
“Ini merupakan rangkaian dari Operasi Mantap Brata yang akan berlangsung hingga Oktober 2019, yakni sampai pelantikan,” kata Supriadi.
Walau tidak terjadi kerusuhan tapi pengamanan akan terus berlansung tentu dengan intensitas yang beragam. “Kalau ada pergerakan demonstrasi tentu pengamanan akan ditingkatkan,” kata Supriadi.
Menurut Supriadi, kondusifnya situasi di Sumsel tidak lepas dari keterlibatan semua pihak untuk meneduhkan suasana. “Tokoh masyarakat dan tokoh agama berperan penting dengan memberikan ceramah yang menyejukan,” katanya.
Kerusuhan memang sempat terjadi di Sumsel seperti di Musi Rawas Utara, Penukal Abab Lematang Ilir, dan Empat Lawang. Namun, kerusuhan tersebut lebih mengarah pada pemilihan calon legilatif bukan pemilihan presiden-wakil presiden.
“Untuk pilpres, tidak terlalu jadi masalah, terutama saat rekapitulasi,” katanya.
Hal ini diamini Komisioner KPU Sumsel Hepriyadi yang menyatakan, secara umum rekapitulasi pilpres lebih lancar dibanding pemilihan legilatif, walau saksi dari pasangan nomor urut 02 menolak menandatangani hasil rekapitulasi.
Memang terjadi perpanjangan waktu rekapitulasi karena masih adanya keberatan dari sejumlah pihak terutama terkait pileg. Namun semua bersepakat untuk menyelesaikan rekapitulasi dan akan mengajukan keberatan pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Dari hasil rekapitulasi sendiri pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menang di Sumsel dengan 2.847.502 suara (59,44 persen). Sementara pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hanya mendapat 1.942.987 suara (40,55 persen). Dari 17 kabupaten/Kota di Sumsel, Joko Widodo-Ma’ruf hanya unggul di Kabupaten Banyuasin.
Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Sriwijaya Bagindo Togar Butar Butar menerangkan, situasi aman di Palembang disebabkan merenggangnya hubungan antara warga dengan calon legislatif. “Setelah hasil diumumkan tentu mereka tidak memiliki kepentingan lagi,” katanya.
Seandainya dua calon presiden itu turun dan menenangkan massa tentu kerusuhan bisa berhenti
Masyarakat lebih cenderung menyerahkan hasil pemilihan presiden kepada calon legislatif yang telah mereka pilih. “Menurut warga Palembang, usai pemungutan suara, tugas mereka telah selesai,” kata Bagindo.
Bagindo mengatakan, secara umum pemikiran masyarakat Palembang yang sudah lebih terbuka sehingga tidak mudah termakan isu politik. Selain itu, kondisi puasa juga menjadi penyebab berkurangnya risiko kerusuhan di Palembang.
Heri, si penjahit di kolong Jembatan Ampera meyakini warga Indonesia dapat merajut kembali persatuan yang sempat terkoyak karena perbedaan, walau mungkin tak semudah saat dirinya menjahit pakaian yang telah koyak.
“Saya ingin Indonesia kembali aman dan damai,” katanya.