Konservasi penyu di Sumatera Barat terhambat lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pencurian dan perdagangan telur penyu di Padang. Razia dan penyitaan barang bukti dinilai tidak menimbulkan efek jera karena pelaku masih bebas melenggang dan mengulangi aksinya.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Konservasi penyu di Sumatera Barat terhambat lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pencurian dan perdagangan telur penyu di Padang. Razia dan penyitaan barang bukti dinilai tidak menimbulkan efek jera karena pelaku masih bebas melenggang dan mengulangi aksinya.
Pati Hariyose (37), pengelola Konservasi Penyu Jambak Sea Turtle Camp, Pantai Pasir Jambak, Padang, Minggu (2/6/2019) menilai, penegakan hukum terhadap pelaku pencurian dan perdagangan telur penyu masih lemah. Pelaku yang tertangkap kebanyakan tidak diproses secara hukum, hanya diperingatkan dan disita barang buktinya.
”Razia dan peringatan saja tidak cukup. Sebab, setelah itu, mereka masih bisa beraksi. Semestinya ada sanksi hukum tegas agar para pelaku jera, tidak lagi mencuri dan memperdagangkan telur penyu,” katanya.
Di Sumbar, terdapat empat jenis dari tujuh jenis penyu di dunia. Keempat jenis itu adalah penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Keempat jenis penyu itu masuk dalam daftar merah satwa terancam punah Badan Konservasi Dunia (IUCN). Bahkan, penyu sisik berada di kategori nyaris punah (critically endangered).
Dikutip dari laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan, semua jenis penyu di Indonesia dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Segala bentuk perdagangan penyu dalam keadaan hidup atau mati, termasuk bagian tubuhnya, dilarang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi, termasuk penyu, dapat dikenai hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Yose menambahkan, selain lemahnya penegakan hukum, kesadaran konservasi masyarakat juga belum optimal. Meski demikian, kondisinya lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu saat telur penyu dijual bebas di sepanjang Pantai Padang. Saat itu, bahkan masih ada warga yang mengonsumsi telur penyu. Akibatnya, telur penyu tetap memiliki nilai ekonomi.
Lemahnya penegakan hukum dan nilai ekonomi tersebut membuat telur penyu terus diburu dan diperdagangkan.
Lemahnya penegakan hukum dan nilai ekonomi tersebut membuat telur penyu terus diburu dan diperdagangkan. Selama musim bertelur, Yose dan rekannya sering menemukan pencuri telur beraksi di wilayah pesisir pada malam hari. Sementara itu, telur penyu diperdagangkan di pasar gelap ataupun pasar tradisional yang jauh dari jangkauan penegak hukum.
Penelusuran Kompas, Sabtu (1/6/2019), perdagangan telur penyu di pasar tradisional masih ditemukan. Telur penyu dicari karena dipercaya dapat meningkatkan vitalitas pria.
Di Pasar Tanah Kongsi, Kampung Pondok, Padang, telur penyu dipajang di lapak pinggir lorong pasar. Telur dijual Rp 5.000 per butir. Meskipun dijual terang-terangan, pedagang berdalih hanya dititipi pedagang lain.
Di Pasar Pagi Purus, Padang, yang juga biasa menjadi tempat transaksi, perdagangan telur penyu tidak ditemukan. Namun, menurut warga setempat, dalam tiga hari terakhir transaksi telur penyu masih terjadi.
”Biasanya selalu ada yang jual. Namun, tiga hari lalu ada telur penyu yang disita orang dari Dinas Perikanan. Sekarang tidak jualan karena takut rugi. Setelah reda, biasanya akan jualan lagi,” kata Sam (64), juru parkir di pasar.
Menurut Yose, penegakan hukum yang lemah dan masih adanya nilai ekonomi telur penyu melemahkan upaya konservasi. Jambak Sea Turtle Camp, misalnya, terpaksa membeli telur penyu yang dicuri agar tidak dijual untuk konsumsi. Telur-telur yang dibeli seharga Rp 1.500-Rp 2.000 per butir itu ditetaskan kemudian bayinya dilepaskan ke laut. Dalam sebulan, Yose bisa merogoh kocek Rp 2 juta hingga Rp 3 juta untuk upaya itu.
”Kalau penegakan hukum tegas dan masyarakat sadar, seharusnya tidak ada yang berani mencuri telur penyu. Sebab, mengusik sarang penyu saja dapat dihukum pidana. Jika demikian, upaya konservasi pun tidak butuh dana besar,” ujar Yose.
Selain persoalan biaya, kata Yose, telur penyu yang dibeli dari warga juga sering rusak karena diambil secara serampangan dari sarang. Dampaknya, banyak telur yang gagal menetas. Yose berharap, para pencuri dan pedagang telur penyu ditindak tegas secara hukum agar jera.
Kalau penegakan hukum tegas dan masyarakat sadar, seharusnya tidak ada yang berani mencuri telur penyu. Sebab, mengusik sarang penyu saja dapat dihukum pidana.
Peneliti Pulau-pulau Kecil sekaligus Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Indonesia Universitas Bung Hatta Harfiandri Damanhuri mengatakan, sejak penutupan lokasi perdagangan telur penyu di Pantai Padang tiga tahun lalu, transaksi telur penyu beralih ke pasar-pasar kecil. Sebenarnya, hal itu dulu sudah diantisipasi dengan penyuluhan kepada para pedagang.
”Namun, kelemahan selama ini dalam monitoring dan evaluasi. Petugas hanya puas dengan penutupan lokasi besar, tetapi tidak optimal mengontrol pasar-pasar kecil,” kata Harfiandri.
Menurut Harfiandri, pesisir pantai Sumbar beserta pulau-pulaunya merupakan salah satu tempat favorit pendaratan penyu untuk bertelur. Harfiandri mencatat, di Sumbar, setidaknya terdapat 124 titik pendaratan penyu. Dari jumlah itu, diestimasikan sekitar 30.000 penyu dewasa mendarat setiap tahun.
Harfiandri menambahkan, eksploitasi berlebihan terhadap penyu dapat mengurangi populasi penyu dan mengganggu keseimbangan rantai makanan di laut. Berkurangnya populasi penyu berpotensi meningkatkan populasi ubur-ubur, salah satu makanan penyu. Meledaknya populasi ubur-ubur dapat mengurangi populasi ikan karena ubur-ubur mengonsumsi bibit-bibit ikan.
Kepala Dinas Perikanan Sumbar Yosmeri mengakui, perdagangan telur penyu di pasar-pasar kecil masih ditemukan. Akan tetapi, klaimnya, jumlah temuan tidak banyak. Hal itu tak terlepas dari pengawasan dan sosialisasi petugas untuk menyadarkan masyarakat. Di lokasi-lokasi penemuan, petugas melakukan penyuluhan dan mendirikan plang larangan.
Yosmeri mengakui, penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan telur penyu memang lebih banyak bersifat persuasif, yaitu berupa peringatan dan penyitaan. Menurut dia, untuk menghentikan aktivitas itu butuh waktu karena dari dulu telanjur dianggap usaha legal.
”Mereka kami sadarkan dulu. Makin lama, penindakannya makin keras hingga akhirnya takut dan tidak lagi memperdagangkan telur penyu,” kata Yosmeri.