Otak-atik Pasal Bekas Terpidana Korupsi di Pilkada
Pasal terkait keikutsertaan bekas terpidana, termasuk bekas napi korupsi, di pemilihan kepala daerah terus berganti. Perubahan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, kemarin (11/12/2019), bisa jadi bukan yang terakhir.
Pasal terkait keikutsertaan bekas terpidana korupsi di pemilihan kepala daerah terus berganti. Pergantian rezim berkontribusi pada perubahan. Begitu pula ketuk palu hakim Mahkamah Konstitusi atau MK. Perubahan melalui putusan MK, kemarin (11/12/2019), bisa jadi bukan yang terakhir.
Di pengujung pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, pemerintah bersama DPR periode 1999-2004 mengeluarkan aturan yang isinya melarang mereka yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Termasuk di dalamnya, bekas terpidana korupsi.
Aturan itu tertera di Pasal 58 huruf F Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Regulasi ini merupakan dasar hukum pertama yang mengatur penyelenggaraan pilkada secara langsung.
Tiga tahun setelah UU Pemda berlaku, empat orang dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, mengajukan uji materi terhadap Pasal 58 huruf F ke MK. Para pemohon menilai pasal itu berpotensi melanggar hak dan kebebasan warga negara yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Kompas, 14/4/2007).
Baca juga: Jalan Masih Terbuka bagi Bekas Terpidana Korupsi di Pilkada
Namun, MK yang saat itu dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie menolaknya melalui Putusan MK Nomor 17/PUU-V/2007.
Dalam putusan disebutkan, seluruh bekas terpidana tetap dilarang mencalonkan diri dalam pilkada, sepanjang larangan itu tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan.
Dengan dasar putusan MK itu, pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR periode 2004-2009 tak mengubah keberadaan norma larangan itu saat UU Pemda direvisi menjadi UU No 12/2008.
Perubahan baru terjadi saat aturan tersebut kembali diuji materi ke MK. MK di bawah kepemimpinan Mahfud MD, melalui Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, menilai, ketentuan yang melarang mantan terpidana menjadi calon pimpinan daerah inkonstitusional. Namun, bukan berarti mantan terpidana bisa langsung ikut dalam pilkada. Ada empat syarat yang harus terlebih dulu dipenuhi.
Keempat syarat itu adalah tidak dicabut hak pilihnya oleh pengadilan, bekas terpidana baru bisa maju di pilkada lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara, bekas terpidana harus jujur dan terbuka mengenai statusnya ke publik, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang.
Baca juga: Bekas Napi Korupsi Bisa Ikut Pilkada Bentuk Kemunduran Demokrasi
”Terhadap jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat, Mahkamah berpendapat, hal tersebut tidaklah dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri risiko pilihannya. Sebab, jabatan demikian haruslah dipangku oleh orang yang kualitas dan integritas tinggi,” demikian petikan pertimbangan MK saat itu.
Namun, selang lima tahun, pemerintahan periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR periode 2009-2014 mengabaikan putusan MK itu. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), norma larangan yang berlaku sebelum putusan MK dihidupkan kembali. Bunyinya sama.
Norma yang sama tetap hidup saat Presiden Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut UU No 22/2014. Pencabutan saat itu dilakukan karena UU No 22/2014 mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung. Presiden kala itu merespons kekecewaan publik atas perubahan tersebut.
Selanjutnya, saat perppu dibawa ke DPR untuk mendapatkan persetujuan disahkan menjadi UU, norma larangan tersebut dilonggarkan.
Di bagian penjelasan pasal yang mengatur norma larangan, putusan MK tahun 2009 diadopsi. Dengan demikian, bekas terpidana bisa maju dalam pilkada asalkan memenuhi empat syarat yang diputuskan oleh MK.
Saat itu, Presiden Yudhoyono sudah tak lagi menjabat. Adalah Presiden ke-7 Joko Widodo bersama DPR periode 2014-2019 yang mengesahkan Perppu menjadi UU No 8/2015.
Meski demikian, bukan berarti otak-atik pasal bekas terpidana lantas berhenti. Pasal tersebut kembali digugat ke MK, dan MK kembali mengubahnya. Kali ini, syarat bagi bekas terpidana justru dibuat lebih longgar.
Dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, hakim konstitusi di bawah pimpinan Arief Hidayat menghilangkan syarat kumulatif yang diputuskan MK tahun 2009, dan hanya menyisakan satu syarat untuk mantan terpidana. Syarat dimaksud adalah secara terbuka dan jujur menyatakan kepada publik bahwa yang bersangkutan berstatus sebagai mantan terpidana.
Putusan MK ini lantas diadopsi oleh pembentuk undang-undang saat merevisi UU No 8/2015. Aturan tertuang di Pasal 7 Ayat (2) huruf G UU No 10/2016.
Yang membedakan, UU tersebut menghidupkan norma larangan bagi mantan terpidana bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk maju dalam pilkada.
Selanjutnya, saat pasal itu digugat kembali ke MK, hakim konstitusi yang masih di bawah kepemimpinan Arief Hidayat lagi-lagi melonggarkan persyaratan.
Dalam Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016, mereka yang pernah dipidana karena tindak pidana kealpaan dan tindak pidana karena pelakunya mempunyai pandangan berbeda dengan rezim berkuasa, tak termasuk kategori mantan terpidana yang tak bisa ikut pilkada. Mereka dibolehkan maju dalam pilkada.
Sekalipun tak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk maju dalam pilkada, awal November lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoba menghidupkan norma larangan itu di peraturan KPU yang menjadi acuan teknis penyelenggaraan pilkada. KPU berangkat dari fakta bekas terpidana korupsi kembali korupsi setelah menjabat lagi sebagai pimpinan daerah.
Ini mengacu pada kasus Muhammad Tamzil. Saat menjabat bupati Kudus 2003-2008, dia mengorupsi APBD Kudus Tahun 2004. Pada 2014, dia divonis bersalah, dan bebas pada 2015. Dia kemudian kembali maju pada Pilkada Kudus 2018, dan terpilih. Belum satu tahun menjabat, persisnya akhir Juli 2019, dia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, kemudian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) menolak norma itu saat proses harmonisasi. Alasannya, norma yang sifatnya mencabut hak seseorang tak bisa diatur di peraturan teknis, tetapi harus di undang-undang.
KPU coba berkukuh dengan pendiriannya, tetapi kemudian KPU terpaksa luluh pada keinginan Kemenkum dan HAM. ”Pembahasan alot dan tak mungkin KPU berkukuh terus karena waktu yang tersedia terbatas. Tahapan Pilkada 2020 akan segera dimulai, dan PKPU Pencalonan dibutuhkan sebagai acuan teknis Pilkada 2020,” ujar komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Baca juga: Larangan Bekas Napi Korupsi Dicabut, Beragam Langkah Bisa Diambil KPU
Selanjutnya, perubahan terbaru terjadi kemarin (11/12/2019). MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 mengembalikan aturan terkait mantan terpidana sama seperti yang diputuskan oleh MK tahun 2009.
Dalam pertimbangannya, MK melihat, putusan MK tahun 2015 yang berniat mengembalikan kedaulatan pemilih dengan menghilangkan empat syarat kumulatif dalam putusan MK tahun 2009 tidak sepenuhnya dapat menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegitas.
”Sejumlah fakta empirik membuktikan di antara kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalani masa pidana, menjadi calon kepala daerah hanya dengan mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana, telah ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana,” demikian petikan pertimbangan MK.
Mahkamah juga menjelaskan, jika berpegang pada prinsip kedaulatan pemilih, bekas terpidana bisa langsung maju dalam pilkada setelah yang bersangkutan tuntas menjalani masa hukumannya. Namun, Mahkamah berpendapat, demokrasi bukan semata-mata berbicara tentang perlindungan hak-hak individual, tetapi juga ditopang nilai-nilai dan moralitas, seperti nilai kepantasan, kesalehan, kewajaran, kemasukakalan, dan keadilan.
Jadilah MK menghidupkan syarat masa jeda lima tahun bagi bekas terpidana. Masa jeda ini agar bekas terpidana beradaptasi di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya mereka benar-benar telah menjadi baik dan teruji. Dengan demikian, ada keyakinan dari pemilih bahwa mereka tak akan mengulangi perbuatannya.
Tenggang waktu sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah bekas terpidana telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi.
Dan, sama seperti putusan MK tahun 2009, aturan terbaru tersebut berlaku untuk semua mantan terpidana yang diancam dengan hukuman penjara minimal lima tahun. Ini termasuk bekas napi korupsi. Kemudian termasuk pula bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang di UU No 10/2016 sebenarnya dilarang sama sekali untuk maju di pilkada.
Baca juga: Jeda Waktu Lima Tahun bagi Eks Napi Korupsi
Tidak ideal
Pengajar hukum tata negara sekaligus peneliti di Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi melihat, perbedaan sikap dari masa ke masa memperlihatkan fluktuasi ketegasan terhadap larangan pencalonan eks narapidana. Bukan tak mungkin, perubahan terbaru dari MK itu belum akan menjadi perubahan yang terakhir. Berganti rezim, berganti hakim MK, ditambah faktor eksternal, bisa jadi membuat aturan itu terus berubah.
”Saya menduga, hal itu terjadi karena (putusan hakim) tidak semata memperhatikan pertimbangan hukum, tetapi juga lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal,” kata Khairul.
Putusan MK yang dibacakan kemarin pun, kata Khairul, masih jauh dari harapan. ”Putusan terakhir ini belum ideal, belum terlihat kepentingan untuk menjaga pilkada bisa berlangsung dengan baik, serta kepentingan terwujudnya harapan publik atas lahirnya pimpinan daerah yang bersih,” katanya
”Memberikan waktu jeda lima tahun pada mantan napi korupsi tidak akan memberikan efek pencegahan, hanya pelipur lara untuk mengatasi kekecewaan beruntun masyarakat,” lanjutnya.
Menurut dia, semestinya ada norma yang tegas, norma yang sepenuhnya melarang bekas narapidana yang ingin kembali maju dalam pilkada. Ini terutama pada para bekas napi korupsi karena kecenderungan mereka untuk mengulangi perbuatannya amat besar.
Baca juga: Susahnya Melarang Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada
Dengan masih terbukanya pintu bagi bekas napi, khususnya bekas napi korupsi, untuk maju dalam pilkada, harapan ditumpukan pada pengadilan untuk mencabut hak politik mereka melalui putusan pengadilan.
Kalau hal itu tak dilakukan, kunci menutup peluang tersebut ada di partai politik sebagai salah satu pintu utama untuk maju di pilkada. Selain itu, kunci dipegang oleh pemilih. Apakah pantas mereka yang telah berbuat kejahatan luar biasa, apalagi kejahatan itu merampok uang rakyat, layak kembali dipercaya untuk kembali menjadi pemimpin?