Sebanyak 38 narapidana terorisme Lapas Permisan dan Kembangkuning, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, berikrar bela negara sebagai bentuk kesetiaan kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
CILACAP, KOMPAS — Sebanyak 38 narapidana terorisme dari Lembaga Pemasyarakatan Permisan dan Kembangkuning, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, mendeklarasikan ikrar bela negara sebagai bentuk kesetiaan kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ikrar ini diharapkan menjadi salah satu bagian deradikalisasi.
”Sikap sudah terlihat sejak mereka menjalani pidana di Lapas Permisan atau Kembangkuning. Mereka sudah bisa bersosialisasi dengan warga binaan lain. Itu menjadi salah satu perubahan sikap yang positif,” kata Koordinator Lapas Nusakambangan Erwedi Supriyatno, Kamis (19/12/2019), di Lapas Permisan, Nusakambangan.
Erwedi menyebutkan, napi terorisme yang masih radikal kadang kala sangat sulit bersosialisasi dengan warga binaan lain. Namun, di tempat tersebut, mereka bisa sangat akrab dengan warga binaan lain, bahkan mau membaur, bekerja, dan mengikuti pembinaan bersama.
Selain itu, para napi kasus terorisme mau mengikuti ibadah agama Islam secara berjemaah, yang menjadi salah satu indikator perubahan sikap.
Di Pulau Nusakambangan saat ini terdapat sedikitnya 2.100 napi dan 196 orang di antaranya napi terorisme. Mereka ditempatkan di delapan lapas dengan sistem keamanan bertingkat, mulai dari pengamanan supermaksimum, maksimum, medium, hingga minimum. Lapas Permisan dan Kembangkuning termasuk pada pengamanan medium.
”Di lapas lain seperti lapas supermaksimum itu orientasinya keamanan. Kalau di sini, orientasinya kepribadian dan kemandirian,” kata Kepala Lapas Permisan Yan Rusmanto.
Ia menyampaikan, di lapas sistem pengamanan maksimum dan supermaksimum, napi tidak bisa kontak langsung dengan petugas. Namun, di Lapas Permisan, petugas dan napi bisa kontak langsung.
Di lapas sistem pengamanan maksimum dan supermaksimum, napi tidak bisa kontak langsung dengan petugas.
”Syarat masuk ke lapas ini adalah siap setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan ditandatangani. Kemudian kooperatif, tidak menganggap petugas dan lainnya sebagai togut dan kafir. Jika ada yang masih mengafirkan dan tidak kooperatif, narapidana bisa dikembalikan ke lapas maksimum atau supermaksimum karena berbahaya,” papar Yan.
Syam Suryadi (31) alias Syam Malik, salah satu napi terorisme yang masuk Nusakambangan pada Mei 2018, mengatakan, pembinaan di lapas cukup baik karena mengutamakan rasa kekeluargaan dan mengapresiasi tahap ikrar bela negara tersebut.
”Itu sangat penting. Bela negara ini perlu ditanamkan sejak dini. Sebenarnya bela negara ini cikal bakal bagaimana negara Indonesia aman dari pemikiran-pemikiran yang (radikal), selama ini saya tidak memungkiri pernah mengalami itu,” ujar pria asal Sulawesi Tengah itu.
Menurut Suryadi, ikrar bela negara ini membuatnya semakin mencintai NKRI. Dia mengaku telah menemui titik balik dalam pemikirannya dari yang tadinya sangat hitam.
”Dulu saya terlalu gampang mengafir-ngafirkan orang, menogut-nogutkan orang, semakin hari saya makin terbuka lagi,” ucap Suryadi yang divonis 5 tahun 4 bulan penjara karena terkait jaringan NIIS.
Edi Setiono (60) alias Abas, napi terorisme, menyampaikan, aksi bela negara lain yang bisa dilakukan di dalam lapas adalah melalui doa dan juga aktivitas positif yang disediakan di lapas. Ia mengaku dulu berprinsip Indonesia harus berdiri dengan syariat Islam karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Namun, hal itu sebenarnya tidak bisa dipaksakan.
Ia berpesan kepada orang-orang yang masih memiliki paham radikal bahwa kehendak radikal seperti itu tidak bisa dipaksakan. Menurut dia, sifat takfiri atau mengafirkan orang lain itu berbahaya. Bukan berbahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bagi seluruh umat Islam di Indonesia.
Tidak bisa orang baru belajar ngaji dari Facebook atau dunia maya lalu bisa men-takfir orang.
”Artinya, orang kalau sudah di-takfir itu darahnya halal dan saya pun darahnya bisa dihalalkan oleh mereka. Saya mohon kepada mereka untuk benar-benar belajar, jangan cuma doktrin-doktrin yang bisa diterima. Ilmu itu banyak, dari beberapa ulama. Tidak bisa orang baru belajar ngaji dari Facebook atau dunia maya lalu bisa men-takfir orang,” tutur Edi yang divonis seumur hidup.
Diberitakan Kompas (16/11/2019), guna menyikapi perkembangan radikalisasi dan terorisme yang kian kompleks, pemerintah menyiapkan desain besar strategi yang lebih komprehensif untuk menanganinya. Pemerintah menganggap pencegahan terorisme perlu menjadi arus utama program nasional. Upaya pencegahan tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Lembaga pendidikan juga perlu terlibat.
”Penanganan harus komprehensif dari hulu ke hilir, kemudian melibatkan bagian terkecil unit kelembagaan masyarakat, RT (rukun tetangga)/RW (rukun warga),” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Jumat (15/11/2019).
Terpidana kasus terorisme yang ditahan di lapas disinyalir masih terlibat proses radikalisasi. DA, istri RMN—pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, pada Rabu, 13 November—teradikalisasi setelah menemui terpidana terorisme, yaitu I, di Lapas Wanita Kelas IIA Medan.
DA diduga intens berkomunikasi melalui media sosial dengan I. Pada 2014, terpidana perkara terorisme Aman Abdurrahman juga bertemu dengan pengikutnya di Lapas Nusakambangan untuk meresmikan pembentukan Jamaah Ansharut Daulah.
Terkait dengan hal itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) akan mengevaluasi sistem pengawasan dan program deradikalisasi untuk terpidana terorisme di lapas. BNPT sudah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM untuk meningkatkan kualitas petugas dan sistem pengamanan lapas dalam mengantisipasi radikalisasi dari penjara.