Perlu Upaya Percepatan untuk Cegah Pernikahan Anak
Sebelas tahun terakhir, angka perkawinan usia anak hanya turun 3 persen, dari 14 persen menjadi 11 persen. Butuh upaya percepatan untuk mencapai target maksimal 6 persen pada 2030.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Sebelas tahun terakhir, angka perkawinan usia anak hanya turun 3 persen, dari 14 persen menjadi 11 persen. Butuh upaya percepatan untuk mencapai target maksimal 6 persen pada 2030.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam sebelas tahun terakhir, prevalensi pernikahan usia anak di Indonesia telah menurun, tetapi lambat, yaitu dari 14 persen menjadi 11 persen. Sebagai gambaran, 1 dari 9 anak perempuan dan 1 dari 100 anak laki-laki di bawah usia 18 tahun terlibat dalam pernikahan usia anak ini.
Pemerintah menargetkan pada tahun 2030 tidak ada lagi pernikahan usia anak terjadi di Indonesia. Namun, untuk mematok target yang lebih realistis, pemerintah menetapkan angka prevalensi pernikahan usia anak maksimal 6 persen. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target ini tidak boleh setengah-setengah.
”Penurunan (dari 14 persen menjadi 11 persen) ini terlalu lambat. Kalau tidak ada percepatan, pada tahun 2030 Indonesia tidak bisa mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin kelima, yaitu menghilangkan praktik berbahaya terhadap anak,” kata Kepala Perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Perwakilan Indonesia Debora Comini ketika ditemui Kompas di Jakarta, Senin (3/2/2020).
Debora mengatakan, Unicef menilai Indonesia menunjukkan komitmen politik dalam pencegahan pernikahan anak. Hal ini dilihat dari munculnya berbagai kebijakan untuk menanggulangi masalah ini. Akan tetapi, dari segi implementasi masih lambat.
”Koordinasi antara kementerian/lembaga beserta pemerintah pusat dan daerah masih menjadi kendala utama di Indonesia. Payung hukum, seperti perubahan Undang-Undang Perkawinan terkait batas minimum usia pernikahan anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, ternyata belum banyak diketahui di lapangan,” papar Debora.
Unicef bersama Pemerintah Indonesia meluncurkan laporan pernikahan anak bersama rencana nasional untuk mengentaskan masalah ini dari masyarakat. Tujuannya, agar berbagai kebijakan dan aksi yang dilakukan, baik pada tataran pemerintah maupun akar rumput, bisa berlandaskan data dan fakta.
Unicef mengamati bahwa penurunan angka pernikahan anak paling banyak terjadi di daerah perdesaan. Sebaliknya, angkanya cenderung stagnan di wilayah perkotaan. Salah satu kesimpulannya ialah karena arus urbanisasi turut membawa permasalahan pernikahan anak yang sebelumnya terjadi di desa ke kota.
Dari segi jumlah, sebesar 50 persen kasus pernikahan anak terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur karena aspek jumlah penduduk yang tinggi. Dari 1.220.900 kasus yang tercatat, sebanyak 273.300 pernikahan anak terjadi di Jawa Barat. Akan tetapi, dari segi persentase, Sulawesi Barat memiliki prevalensi tertinggi, yakni 19,43 persen. Dugaannya karena sebagai provinsi termuda, infrastruktur dan kebijakannya belum memadai untuk menanggulangi masalah ini.
”Perlu diingat bahwa kasus yang tercatat adalah kasus pernikahan resmi di Kantor Urusan Agama dan catatan sipil. Masih banyak pernikahan anak yang di bawah tangan atau secara adat yang belum terdata,” kata Comini.
Intervensi
Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati, perlu ada intervensi dari pemerintah untuk mencegah perkawinan usia anak. Caranya, dengan mempermudah pengurusan dispensasi pernikahan anak di pengadilan agama.
”Langkah ini memang kontroversial karena angka pengajuan dispensasi akan melonjak. Namun, hal ini membuat negara bisa mengetahui nama-nama orangtua ataupun anak yang terpapar risiko pernikahan anak sehingga memudahkan intervensi,” katanya.
Menurut Rita, Peraturan Mahkamah Agung No 5/2019 sangat rigid mengatur pelarangan pemberian izin menikah di bawah usia 19 tahun. Strateginya tinggal mengarahkan para orangtua dan anak yang memikirkan jalur pernikahan dini agar mau mengajukan dispensasi. Hukum mengamanatkan agar mereka diberi konseling sambil membahas berbagai alternatif.
”Mayoritas kasus dispensasi tidak menghadirkan anak di pengadilan. Pemudahan akses dispensasi menjadikan pelibatan anak mutlak dalam pencarian alternatif karena intervensi jangan hanya kepada orangtua,” ujar Rita.
Laporan yang diterima KPAI, dispensasi untuk pernikahan anak tahun 2018 ada 13.800. Dari jumlah itu, 31 persen karena kehamilan tak diinginkan. Sisanya karena faktor kemiskinan dan norma budaya.
KPAI juga meminta Mahkamah Agung membekali para hakim pengadilan agama mengenai perubahan UU Perkawinan dan Perma No 5/2019. Hakim bisa memberi keputusan yang berpihak pada perlindungan anak ketika ada kasus dispensasi.
Sementara itu, Unicef melibatkan remaja untuk menghentikan dan mencegah pernikahan usia anak. Remaja yang memiliki pemahaman dan kecakapan hidup akan berdaya untuk menghindar dari risiko ini. Unicef bekerja sama dengan masyarakat sipil membuat program pendidikan keterampilan hidup bagi remaja.
”Selain belajar tentang risiko pernikahan dini, remaja juga mempelajari pendidikan kesehatan reproduksi dan pengembangan karakter,” kata pakar Perlindungan Anak Unicef Indonesia, Emilie Minnick.
Para remaja diajak mengembangkan kemampuan menganalisis informasi, mengambil keputusan, dan mengajukan argumen secara publik. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama beserta orangtua juga diajak untuk mengikutsertakan remaja dalam pengambilan keputusan.