Anak Korban Pemerkosaan, Dua Tahun Menanti Keadilan
TR (16), gadis belia itu, menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh teman laki-lakinya, AK (20), pada 18 November 2018 lalu. Dua tahun berlalu, kasus belum juga tuntas.
TR (16), gadis belia itu, menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh teman laki-lakinya, AK (20), pada 18 November 2018 lalu. Polisi sempat menangkap pelaku, namun pelaku kabur saat dititipkan di lembaga perlindungan sosial. Dua tahun berlalu, pelaku tidak kunjung ditangkap dan penantian keadilan korban kian panjang.
TR tinggal di salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Pada Jumat (14/8/2020), didampingi AM (47), ayah, dan SR (40), ibunya, TR menceritakan kembali kasus pemerkosaan yang dia alami kepada Kompas. Wawancara dilakukan atas persetujuan kedua orangtua korban.
Saat peristiwa pemerkosaan terjadi, usia TR masih 14 tahun dan pelaku, AK, berusia 18 tahun. Secara aturan, keduanya masih anak-anak. Mereka berkenalan lewat media sosial Facebook. AK merupakan warga Kecamatan Seulimueum, Aceh Besar.
Baca juga : Sebanyak 255 Anak di Aceh Jadi Korban Pemerkosaan
Saat itu, TR masih duduk di bangku kelas I sekolah menengah pertama. Suatu hari di bulan November 2018, AK mengajak TR bermain ke kamar kosnya di kawasan Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Di kamar kos itu, dengan masih memakai seragam sekolah, TR dipaksa berhubungan intim dengan AK.
”Saya berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang dengar. Saya dipukul dan diancam agar tidak cerita pada orang,” kata TR.
Saat diwawancarai, TR lebih banyak diam dan menunduk. Meski menggunakan masker, sorot matanya terlihat sendu. ”Saya mau dia (pelaku) dihukum. Saya masih trauma dan takut,” kata TR yang kini bersekolah kelas I SMA.
Lapor polisi
AM, ayah korban, menyambung ceritanya. Waktu itu, dia melihat perilaku anaknya berubah, sering melamun dan lesu. AM mengira anaknya telah mengonsumsi narkoba. TR tidak mau bercerita apa yang dia alami kepada orangtuanya.
Baca juga : Perkawinan Anak di Aceh Marak
AM tak habis akal. Dia bawa anaknya ke Kepolisian Sektor Baitussalam, Aceh Besar, untuk diinterogasi polisi. Kepada polisi, TR mengaku telah menjadi korban pemerkosaan. Mendengar pengakuan itu, hati AM dan SR panas dan sedih. TR, putri semata wayangnya itu, telah menjadi korban kekerasan seksual.
Hari itu, 11 Desember 2018, AM dan SR membuat pengaduan polisi. Pada hari itu juga polisi menangkap dan menetapkan AK sebagai tersangka. AK disangkakan melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Namun, karena usia AK saat itu masih 18 tahun, pelaku dititipkan ke Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) di Banda Aceh. Proses penyelidikan terus berjalan.
Dalam proses penyelidikan, keluarga pelaku mendatangi AM untuk menawarkan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Dengan kata lain, TR dan AK akan dinikahkah. AM menolak tawaran itu sebab anaknya masih sangat belia, belum siap berumah tangga.
Pelaku kabur
Namun, pada 21 Desember 2018, pelaku kabur dari LPKS. Mengetahui pelaku telah kabur, AM melaporkan kepada polisi dengan harapan pelaku segera ditangkap. Namun, hingga kini, polisi belum berhasil menangkap pelaku yang kabur.
AM melapor kepada yayasan pendampingan hukum dengan harapan pengacara di lembaga itu mengadvokasi kasusnya. AM membayar Rp 7 juta dari Rp 12 juta yang diminta oleh yayasan itu, tetapi advokasi tidak tuntas.
Baca juga : Orangtua Jadi Tersangka Eksploitasi Anak di Aceh
Tidak putus asa, AM melaporkan kasus putrinya kepada Ombudsman Perwakilan Aceh serta Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh. Dia juga mengirimkan surat kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lagi-lagi, usaha yang dia lakukan tidak berbuah hasil.
”Saya heran, kenapa polisi tidak bisa menangkap pelaku. Padahal, pelaku berkeliaran di kampungnya,” ujar AM.
AM mengaku pernah melihat pelaku dan dia berusaha menangkap. ”Kalau saya temukan, saya selesaikan dengan cara sendiri. Saya siap menanggung risiko,” kata AM menahan emosi.
Kompas menemui Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Baitussalam Brigadir Kepala Anda Fajri untuk mengonfirmasi kebenaran kasus. Fajri membenarkan bahwa kasus dengan korban TR masih dalam proses hukum.
Fajri mengatakan, sejak 2018 hingga Agustus 2020, pihaknya telah beberapa kali berusaha menangkap pelaku, tetapi tidak berhasil. ”Kami ke Lamteuba, tempat tinggal pelaku, tetapi sebagian besar warga merahasiakan keberadaan pelaku,” kata Fajri.
Baca juga : Banda Aceh Tetapkan Desa Ramah Anak
Pada 25 April 2019, Polsek Baitussalam memasukkan AK dalam daftar pencarian orang (DPO). AK menjadi buron dengan nomor DPO/02/IV/2019/Unit Reskrim. Fajri menuturkan, pihaknya berkomitmen menangkap pelaku sehingga proses hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Pemenuhan hak
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin, menuturkan, proses hukum terhadap kasus itu harus selesai. Sebab, kepastian hukum penting untuk pemenuhan hak anak sebagai korban dan pelaku.
”Dalam putusan sidang, majelis hakim akan menentukan apa hak anak dan itu tugas negara untuk memenuhinya,” kata Firdaus.
Ia menambahkan akibat proses hukum belum selesai, selama dua tahun pula negara telah mengabaikan hak anak sebagai korban. Sementara anak sebagai pelaku juga harus memanggul status DPO. ”Sampai kapan anak (pelaku) ini akan menyandang status DPO. Ini akan menghambat dia untuk berkembang, dia anak, masa depan masih panjang,” ujarnya.
Akibat proses hukum belum selesai, selama dua tahun pula negara telah mengabaikan hak anak sebagai korban.
Firdaus mengatakan, tidak logis proses hukum kasus kekerasan terhadap anak telah berjalan dua tahun dan tidak tuntas. KPPA Aceh akan menyurati instansi terkait untuk mendorong percepatan proses hukum itu.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani menuturkan, pihaknya sedang menelusuri kasus itu. Setelah itu, pihaknya baru bisa memberikan tanggapan. ”Saya akan koordinasi dulu dengan staf terkait kasus ini, sudah sampai mana prosesnya,” ujar Nevi.
Baca juga : Anak Enam Tahun Tewas, Diduga Korban Pemerkosaan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul mengatakan, pihaknya akan memberikan pendampingan hukum terhadap korban. LBH telah mendengar kesaksian korban.
”Aneh, dua tahun tidak ada progres, padahal polisi sempat menangkap pelaku. Polisi harus serius tangani kasus ini, jangan terkesan main-main,” ujar Syahrul.
Kasus kekerasan terhadap anak di Aceh masih tinggi. Data DP3A Aceh menunjukkan, sepanjang 2017-2019 terjadi 2.692 kasus kekerasan pada anak. Sebanyak 289 kasus merupakan kasus pemerkosaan. Artinya, 289 anak di Aceh dalam tiga tahun menjadi korban pemerkosaan.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, Endang Setianingsih, menilai, pemulihan trauma bagi anak korban kekerasan sangat penting. Jika tidak dipulihkan, anak sulit menjalani proses tumbuh kembang dan sulit bergaul dengan lingkungannya. Endang menyebutkan, trauma akut yang dialami anak korban kekerasan membuat anak menjadi pribadi yang tertutup dan emosinya tidak stabil.
”Pemulihan butuh waktu lama, bisa sampai bertahun-tahun. Pendampingan harus sampai reintegrasi sosial,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Endang persis yang dialami oleh TR. Meski waktu kejadian telah berlalu dua tahun, dia masih trauma. Lebih dalam lagi, sampai kini TR belum memaafkan dirinya sendiri karena merasa telah membuat orangtua kecewa meski sebenarnya ayah dan ibunya tidak pernah membenci dirinya. Penuntasan kasus hukum menjadi salah satu kunci pemulihannya.
Baca juga : Dia Menyesal Setelah Ditangkap Polisi