Vonis Eks Dirut Garuda Emirsyah Satar Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar terbukti bersalah dalam kasus suap pembelian pesawat dan mesin pesawat. Ia divonis delapan tahun penjara, membayar denda, dan keharusan membayar uang pengganti.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT Garuda Indonesia (2005-2014) Emirsyah Satar terbukti bersalah dalam kasus suap pembelian pesawat dan mesin pesawat. Ia divonis hukuman pidana penjara 8 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Sidang yang dilaksanakan dengan menggunakan telekonferensi ini dipimpin oleh hakim Rosmina. Majelis hakim dan penasihat hukum terdakwa berada di ruang sidang, sedangkan terdakwa yang didampingi oleh kuasa hukumnya dan jaksa penuntut umum berada di Gedung KPK.
Rosmina mengatakan, Emirsyah Satar telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama-sama serta berlanjut sesuai dengan dakwaan.
Emirsyah terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selain itu, terdakwa juga terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana Pasal 3 UU TPPU juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 dan Pasal 65 (1) KUHP sebagai dakwaan kedua.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Emirsyah Satar dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Rosmina.
Selain itu, Emirsyah juga harus membayar uang pengganti sebesar 2.117.315,27 dollar Singapura dan subsider 2 tahun penjara.
Emirsyah terbukti menerima suap dari Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, dan melakukan pencucian uang. Emirsyah menerima uang yang berasal dari pengadaan pesawat dan pembelian mesin pesawat. Adapun Soetikno yang disidang pada hari yang sama dipidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama 3 bulan.
Atas putusan yang diambil oleh majelis hakim, Emirsyah dan Jaksa Penuntut Umum KPK memilih untuk pikir-pikir.
Manajer Penelitian dan Kampanye Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko mengatakan, putusan dari hakim belum optimal karena tuntutan jaksa KPK adalah 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Dari putusan tersebut, pengadilan dan jaksa eksekutor harus melakukan upaya tegas pada pemenuhan pengembalian uang pengganti kerugian negara. Hakim harus memastikan bahwa jika terdakwa tidak membayar uang pengganti sebesar 2,1 juta dollar Singapura atau setara dengan Rp 21 miliar, harta bendanya harus disita.
Putusan terhadap Emirsyah ini menunjukkan bahwa Serious Fraud Office (SFO) di Inggris telah jeli mengungkap kasus suap yang dilakukan Rolls Royce kepada pejabat di sejumlah negara terkait dengan pengadaan mesin pesawat. Rolls Royce oleh pihak otoritas pengadilan di Inggris telah divonis bersalah dan membayar denda sebesar 497,25 juta poundsterling atau sekitar Rp 8,66 triliun.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengaku kecewa dengan putusan yang dijatuhkan hakim. Dengan pasal yang dikenakan kepada terdakwa, sesungguhnya dapat membuka celah bagi hakim untuk menjatuhkan putusan maksimal sampai 20 tahun penjara.
Akan tetapi, ICW tidak terkejut karena tren vonis perkara korupsi di Indonesia selalu ringan. Rata-rata vonis hanya 2 tahun 7 bulan penjara.