Sepekan Lagi Tahapan Dimulai Kembali, KPU Masih Tunggu Kejelasan Ketersediaan Perangkat Protokol Covid-19
Dalam pelaksanaan tahapan pilkada, perangkat kesehatan untuk pemenuhan protokol Covid-19 menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. KPU masih menunggu kejelasan ketersediaan peralatan tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menunggu kejelasan tentang ketersediaan perangkat untuk menjalankan protokol kesehatan Covid-19 dalam tahapan Pilkada 2020. Tanpa adanya kejelasan perangkat untuk memenuhi protokol kesehatan itu, pilkada lanjutan berisiko dilakukan karena saat ini pandemi Covid-19 belum dapat dikendalikan.
Risiko dan kekhawatiran publik terkait penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 juga tergambarkan dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Sebanyak 66 persen responden berharap pilkada dilanjutkan setelah pandemi Covid-19 teratasi atau ditunda hingga 2021. Adapun responden yang menyetujui pilkada diadakan tahun ini sebanyak 29,8 persen.
Selain itu, 77,3 persen responden menilai pilkada di tengah pandemi akan berimbas pada kualitas pilkada. Tahap pemungutan suara di tengah pandemi juga memiliki derajat resistensi lebih besar. Sebanyak 28,1 persen responden mengaku tak bersedia hadir di tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak suaranya jika tahapan itu berlangsung di tengah pandemi Covid-19 (Kompas, 8 Juni 2020).
Baca juga : Waswas Pilkada di Tengah Pandemi
Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga harus diiringi penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat untuk mencegah terjadinya penularan saat pilkada. Hasil tes yang menyatakan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ratna Dewi Pettalolo, beserta tiga anggota staf Bawaslu positif Covid-19 dianggap sebagai bukti faktual protokol kesehatan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.
Dalam rapat terakhir Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan penyelenggara pemilu, pekan lalu, muncul usulan agar pemenuhan kebutuhan perangkat untuk protokol kesehatan itu dibantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Adapun dengan target pilkada berlangsung 9 Desember 2020, KPU sudah harus memulai kembali tahapan pilkada pada 15 Juni.
Anggota KPU, Viryan Aziz, ketika dihubungi, Senin (8/6/2020) di Jakarta, mengatakan, kasus positif Covid-19 yang menimpa Dewi merupakan sesuatu yang tak terkait langsung dengan tahapan pilkada karena sampai saat ini tahapan belum dimulai. Namun, kejadian itu memberi peringatan penting bagi semua pihak agar memiliki kesadaran dan kedisiplinan menerapkan protokol Covid-19.
Selain itu, dalam pelaksanaan tahapan pilkada, perangkat kesehatan untuk pemenuhan protokol Covid-19 itu pun menjadi kebutuhan tak terelakkan yang harus dipenuhi guna melaksanakan pilkada.
Baca juga : Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo Positif Covid-19
Oleh karena itu, menurut dia, apabila tidak ada kejelasan mengenai ketersediaan perangkat kesehatan dalam pemenuhan protokol Covid-19, hal itu bisa memberi ketidakpastian dalam teknis keselamatan masyarakat dalam penyelenggaraan pilkada. Penyelenggara, peserta, dan pemilih akan menghadapi risiko besar terpapar Covid-19 apabila protokol itu tidak dapat dipenuhi.
”Patut dicatat juga, pemenuhan protokol ini bukan untuk KPU, tetapi untuk keselamatan penyelenggara, peserta, dan pemilih,” kata Viryan.
Apabila tidak ada kejelasan mengenai ketersediaan perangkat kesehatan dalam pemenuhan protokol Covid-19, hal itu bisa memberi ketidakpastian dalam teknis keselamatan masyarakat dalam penyelenggaraan pilkada. Penyelenggara, peserta, dan pemilih akan menghadapi risiko besar terpapar Covid-19 apabila protokol itu tidak dapat dipenuhi.
KPU, tambah Viryan, dalam posisi merujuk surat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tertanggal 27 Mei 2020. Surat itu, antara lain, menyatakan tahapan Pilkada 2020 dapat diteruskan dengan syarat dilaksanakan dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19 di setiap tahapan lanjutannya. Karena itu, ujarnya, setiap tahapan lanjutan Pilkada 2020 harus dilaksanakan dengan memenuhi protokol kesehatan Covid-19, termasuk dengan penggunaan perangkat kesehatan yang mendukung terpenuhinya protokol tersebut.
Berpegang pada penjelasan dalam surat tersebut, secara teknis penyelenggaraan, KPU telah menyesuaikan setiap tahapan dan regulasi untuk bisa operasional di masa pandemi. KPU, antara lain, mengeluarkan peraturan KPU mengenai perubahan tahapan, program, dan jadwal pilkada. Selain itu, KPU juga mengeluarkan peraturan KPU khusus Covid-19.
”Tahapan akan sulit dilakukan di masa pandemi tanpa adanya perangkat kesehatan tersebut,” kata Viryan.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, KPU dan Bawaslu telah merancang penerapan protokol kesehatan untuk penyelenggara dan pemilih melalui peraturan lembaga masing-masing. Protokol itu, antara lain, meliputi keharusan menggunakan sarung tangan, pengecekan suhu badan, tinta semprot bagi pemilih yang sudah menggunakan hak pilih, pembatasan jumlah orang, dan berbagai modifikasi tindakan yang dilakukan dalam setiap tahapan pilkada.
Selain ketersediaan dan kepastian pengadaan perangkat kesehatan untuk protokol kesehatan itu, penyelenggara pemilu juga menunggu kejelasan tentang anggaran pilkada lanjutan. ”Tanpa ada anggaran dan perangkat kesehatan untuk protokol Covid-19, tidak akan ada pilkada di tengah pandemi, karena keduanya sama-sama penting,” kata Fritz.
Bukan harga mati
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember 2020 bukan harga mati. Jika situasi dan kondisi tidak semakin membaik dan penerapan protokol kesehatan Covid-19 tidak bisa berjalan dengan semestinya, yang harus diutamakan adalah prioritas keselamatan masyarakat.
”Pilkada serentak 9 Desember 2020 bukan harga mati. Fraksi PPP sudah memberikan pandangan tentang titik rawan yang harus diperhatikan dan melakukan evaluasi kembali atas tahapan yang sedang berjalan, apakah aman atau tidak,” katanya.
Jika situasi dan kondisi tidak semakin membaik dan penerapan protokol kesehatan Covid-19 tidak bisa berjalan dengan semestinya, yang harus diutamakan adalah prioritas keselamatan masyarakat.
Menurut Arwani, pekan ini Komisi II DPR kembali akan bertemu dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk memastikan ketersediaan anggaran serta kesiapan penerapan protokol kesehatan Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dijadwalkan akan menghadiri pertemuan itu.
DPR akan meminta penjelasan dari Menkeu mengenai jaminan ketersediaan anggaran sekaligus kesiapan perangkat protokol kesehatan oleh Gugus Tugas. Sebab, putusan untuk tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 didasari alasan adanya surat dari Gugus Tugas.
”Kami akan membahas anggaran dulu. Kalau anggaran tidak ada, ya tidak bisa jalan. Kami mau memastikan kepada Menkeu, ada uangnya tidak. Kalau ada anggarannya, apakah uang itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan protokol kesehatan Covid-19. Sebab, kalau pemungutan suara dilakukan Desember 2020, tahapan sudah harus berjalan bulan ini,” kata Arwani.
Menurut Arwani, putusan untuk melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020 jangan sampai mengorbankan kualitas demokrasi dan terlebih lagi mengorbankan jiwa warga. ”Cukup sudah pengalaman di Pemilu 2019, yang sampai memakan korban jiwa,” katanya.
Siapkan antisipasi
Pengajar Ilmu Politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, mengatakan, baik DPR maupun pemerintah dan penyelenggara pemilu harus menyiapkan skenario penyelenggaraan pilkada. Sebagai sebuah putusan politik, pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020 harus dapat dipertanggungjawabkan, yakni dengan menjamin pilkada tidak menjadi pusat penularan atau penyebaran Covid-19.
”Wajar kalau masyarakat takut datang ke TPS karena memang kondisi pandemi. Pertanyaannya, kalau sedikit warga yang datang, apakah berarti pilkada harus dihentikan, tidak juga begitu. Tetapi, harus ada antisipasi yang dilakukan pemerintah, penyelenggara, dan DPR, bagaimana agar masyarakat tak takut datang ke TPS. Harus ada jaminan mereka akan selamat ketika memberikan suaranya dalam pilkada,” katanya.
Selain dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19, antisipasi dapat saja dilakukan dengan membuka kemungkinan penyampaian suara secara daring (online). Dengan demikian, warga tidak khawatir tertular karena suara disalurkan secara virtual. Namun, infrastruktur pemberian suara daring itu mesti disiapkan lebih dulu untuk memastikan metode tersebut bisa diterapkan.
Skenario lain juga harus disiapkan oleh pemerintah dan DPR bersama penyelenggara pemilu, misalnya, apabila di tengah tahapan terjadi ledakan penularan. Hal ini membuat harus ada modifikasi lagi terhadap sejumlah tahapan untuk kian diperketat.
”Skenario terakhir yang dapat diambil ialah dengan melihat kembali Perppu Penundaan Pilkada, yang sebenarnya masih memberikan ruang bagi ditundanya pilkada, apabila penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020 ternyata tidak dapat dilakukan,” kata Djayadi.