Novel Baswedan: Persidangan Berjalan Aneh, Banyak Kejanggalan, dan Lucu
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, melihat proses pengusutan hingga persidangan kasus penyerangan dirinya menggambarkan potret penegakan hukum yang compang-camping. Presiden Joko Widodo diminta turun tangan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, menilai, proses persidangan perkara penyerangan terhadap dirinya berjalan aneh, banyak kejanggalan, dan lucu. Tak terkecuali tuntutan ringan jaksa penuntut umum terhadap kedua terdakwa penyerang dirinya.
Semua hal itu dinilainya menggambarkan potret penegakan hukum yang compang-camping. Dengan tanggung jawab pembangunan hukum ada pada presiden, potret tersebut dinilainya turut membuat buruk nama presiden.
Menurut Novel Baswedan, tuntutan satu tahun penjara terhadap dua pelaku penyiraman air keras kepada dirinya seperti dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020), kian menguatkan kejanggalan yang ada selama pengusutan kasus penyerangan dirinya. Kejanggalan itu dilihatnya sudah terjadi sejak proses penyidikan.
”Tuntutan satu tahun penjara yang disampaikan jaksa penuntut umum itu tergambar sekali bahwa proses persidangan berjalan dengan aneh, banyak kejanggalan, dan lucu,” ujarnya, Jumat (12/6/2020).
Ia menyatakan demikian karena serangan terhadap dirinya seharusnya bisa dikonstruksikan sebagai suatu perbuatan penganiayaan berat.
”Suatu perbuatan penganiayaan yang paling tinggi levelnya, yang direncanakan, yang dilakukan dengan berat karena menggunakan air keras, penganiayaan yang akibatnya luka berat, dan penganiayaan dengan pemberatan, ini level tertinggi,” ujarnya.
Namun, realitanya, dengan perbuatan tersebut, kedua terdakwa, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, hanya dituntut satu tahun penjara. ”Dan terkesan penuntut justru bertindak seperti penasihat hukum atau pembela dari terdakwanya, ini hal yang harus diproses, dikritik,” tambahnya.
Potret penegakan hukum
Hal tersebut, kata Novel, sekaligus menunjukkan compang-campingnya penegakan hukum di Tanah Air. Wajar jika setelah melihat hal itu siapa pun akan marah, tak terkecuali dirinya. ”Kenapa? Karena ketika keadilan diinjak-injak, norma keadilan diabaikan, ini tergambar bahwa hukum di negara kita tampak sekali compang-camping,” tambahnya.
Dengan pembangunan hukum yang merupakan tanggung jawab dari presiden, Novel melanjutkan, hal tersebut akan turut membuat buruk nama presiden.
Oleh karena itu, ia mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak membiarkan ketidakadilan terus terjadi dan turun tangan untuk membenahi masalah yang ada. ”Bukankah sejak awal Presiden memberikan perhatian soal ini, tetapi kemudian mempercayakan kepada aparatur yang sudah bekerja. Dan bukankah sudah sangat cukup alasan untuk menunjukkan bahwa aparatur bekerja dengan bermasalah di sana-sini?” tambahnya.
Novel juga berharap publik terus mengawal dan mengkritik proses persidangan, termasuk tuntutan ringan terhadap penyerang dirinya. Sebab, jika tidak, ia yakin akan kian banyak korban ketidakadilan dari proses penegakan hukum.
”Saya tidak hanya melihat ini dari kepentingan saya pribadi, tetapi saya juga melihat sebagai kepentingan semua orang, terutama karena serangan kepada saya adalah upaya untuk menyerang kerja pemberantasan korupsi dan ini berbahaya. Bahkan, kalau dilihat belakangan, kerja pemberantasan korupsi sedang menghadapi masalah yang luar biasa. Kita tahu dengan terang benderang upaya penghambatan dan penghadangan dilakukan dengan masif di tengah banyaknya potensi korupsi bahkan perbuatan korupsi yang terjadi,” jelasnya.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, pihaknya kecewa dengan tuntutan jaksa pada perkara Novel Baswedan.
”Kami dapat merasakan kekecewaan publik dan kami juga kecewa dengan proses penuntutan tersebut karena korban adalah penegak hukum dan akibat perbuatan itu korban menjadi cacat. Kami sebenarnya berharap banyak agar aspek keadilan masyarakat mendapat perhatian serius, obyektif, dan proporsional dari kejaksaan,” katanya.
Menurut Barita, dengan fakta bahwa korban adalah penegak hukum dan mengalami luka berat serta matanya menjadi cacat, maka semestinya perlindungan negara kepada penegak hukum dimaksimalkan dengan penuntutan yang berkeadilan. Sebab, kejaksaan merupakan representasi negara dan korban untuk melakukan penuntutan.
Di sisi lain, pelaku penganiaya Novel Baswedan adalah penegak hukum yang seharusnya menjadi contoh ketaatan terhadap hukum.
Sesuai dengan kewenangannya, Komisi Kejaksaan telah meminta kejaksaan agar menangani kasus Novel Baswedan secara benar dan adil. Komisi Kejaksaan telah mengirimkan dua surat kepada Jaksa Agung pada April dan Juni terkait hal itu. Komisi Kejaksaan juga bakal terus mengikuti proses hukum kasus Novel Baswedan hingga keluar putusan hakim.
”Kami pada waktunya akan menyampaikan rekomendasi ke kejaksaan setelah proses peradilan selesai karena pertimbangan dan putusan hakim akan menjadi bagian yang sangat penting untuk menilai fakta hukum di persidangan yang menjadi dasar bagi Komisi Kejaksaan untuk melakukan penilaian yang komprehensif dan obyektif,” ujar Barita.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menolak untuk memberikan komentar terkait tuntutan jaksa penuntut umum. Menurut Hari, hal itu merupakan wewenang Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. ”Karena penanganan perkara di bawah kendali Kejati DKI Jakarta,” kata Hari.