Sepeda, Moda Transportasi Aman dan Ramah Lingkungan
Sepeda merupakan sarana olahraga dan rekreasi bagi warga Jabodetabek. Sepeda belum menjadi salah satu alat transportasi penunjang aktivitas sehari-hari.
Sepeda merupakan sarana olahraga dan rekreasi bagi warga Jabodetabek. Sepeda belum menjadi salah satu alat transportasi penunjang aktivitas sehari-hari. Faktor keamanan, polusi udara, serta minimnya fasilitas pendukung menjadi kendala utama perwujudan sepeda sebagai alat transportasi.
Baca juga: Pemprov DKI Belum Berpihak pada Pesepeda
Awal tahun 2000 menjadi penanda berkembangnya kebiasaan bersepeda di Jabodetabek. Saat itu yang paling banyak dipakai sepeda berjenis Mountain Bike (MTB). Bersepeda sambil menyalurkan adrenalin mulai banyak digemari, antara lain trek off road di Jalur Pipa Gas (JPG) di Jombang (Banten), downhill di Sentul (Bogor), atau gowes malam hari (night ride) di Puncak, Bogor.
Bagi yang tidak menyukai aktivitas ekstrem, sepeda masih tetap sebagai sarana rekreasi dan olahraga. Hingga akhirnya tren gowes ini bertambah dengan munculnya berbagai komunitas sepeda, seperti sepeda lipat, sepeda ontel, sepeda fixie, dan MTB. Berbagai komunitas sepeda tersebut sering meramaikan acara-acara funbike.
Perkembangan selanjutnya, sepeda mulai digunakan sebagai alat transportasi untuk beraktivitas, ke kantor, sekolah, ataupun pasar. Agustus 2005, terbentuklah Komunitas Pekerja Bersepeda (Bike to Work Community) dalam sebuah Deklarasi di Balai Kota DKI Jakarta. Komunitas Bike to Work di Jakarta ini kemudian diikuti dengan munculnya komunitas yang sama di sejumlah kota di Indonesia.
Sepeda juga mulai digunakan sebagai moda jasa pengiriman logistik. Usaha jasa ini dimulai oleh Westbike Messenger pada 2013. Perusahaan ini terus berkembang hingga membuka cabang di kota Bandung, Medan, Surabaya, dan Lampung. Hal ini mendorong munculnya berbagai jasa kurir sepeda lain seperti Kamiantar.
Baca juga : Sepeda di Antara Deru Mobil Motor
Namun, antusiasme masyarakat untuk bersepeda di Jabodetabek cenderung menurun. Hal tersebut tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Maret lalu. Hampir 60 persen responden menggunakan sepeda hanya sebagai sarana olahraga. Bahkan 16 persen mengaku tidak mempunyai kebiasaan bersepeda.
Bersepeda hanya sekadar untuk cari keringat sambil berekreasi. Warga lebih memilih bersepeda pada akhir pekan di lokasi Car Free Day (CFD) atau taman rekreasi seperti Ecopark Ancol, kawasan hutan mangrove di Pantai Indah Kapuk, sekitar BSD Junction (Tangerang Selatan), dan Kampus Universitas Indonesia di Depok.
Faktor keselamatan dan polusi udara menjadi faktor penghambat sepeda menjadi moda mobilitas harian. Lebih dari separuh responden beralasan gowes di jalan raya rawan tertabrak kendaraan lain. Kasus tabrak lari yang dialami pesepeda bukan hal baru di Jakarta. Salah satunya yang dialami Sandy Syafiek, karyawan televisi swasta di Jakarta, yang tewas saat tertabrak mobil di Jalan Gatot Subroto, Februari 2018.
Baca juga: Produser RTV Tewas akibat Tabrak Lari Saat Bersepeda
Selanjutnya, 56 persen juga menilai bersepeda di Jakarta tidak aman dari kriminalitas. Juni 2018, Syarief Burhanudin, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, saat bersepeda dijambret telepon selulernya yang ditaruh di kantong belakang. Akibatnya, korban jatuh dan terseret sepeda motor pelaku.
Sementara itu, kekhawatiran akan polusi juga menjadi pertimbangan hampir seperempat responden. Jakarta, hingga 2018, tercatat sebagai kota paling berpolusi di Asia Tenggara berdasarkan studi Greenpeace dan IQ Air Visual.
Rata-rata kualitas udara di Ibu Kota ini dengan indikator PM 2.5 untuk 2018 adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara, sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pedoman rata-rata harian 25 mikrogram per meter kubik udara.
Baca juga : Udara di Jakarta Tidak Sehat
Meski demikian, ada seperempat responden yang mulai menggunakan sepeda sebagai moda ke kantor ataupun sekolah. Mereka rata-rata 51 persen berusia 36 hingga 50 tahun. Kemudian diikuti 25 persen usia milenial dan 23,6 persen usia tua (lebih dari 50 tahun).
Baca juga: Lalu Lintas Buas Ibu Kota
Jalur sepeda
Meski masih minim, sarana bersepeda di Jakarta sebetulnya sudah tersedia. Hingga kini, lajur khusus sepeda baru tersedia empat lajur. Di antaranya, Cipinang-Pondok Kopi (± 6,7 km, di area Kanal Banjir Timur/KBT), Pondok Kopi-Marunda (±14 kilometer), Taman Ayodya-Kantor Wali Kota Jakarta Selatan (± 2 kilometer), dan Jalan Imam Bonjol-Diponegoro (± 2 kilometer).
Baca juga: Lajur Sepeda Terbatas
Keberadaan jalur sepeda ini diperkuat pasal 25G, 45B, dan 62 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan bahwa jalan yang dignakan untuk lalu lintas umum wajib memiliki lajur sepeda.
Namun, jalur sepeda tersebut tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Jalur sepeda sering digunakan oleh kendaraan bermotor dan sebagai tempat parkir. Bahkan jalur sepeda di BKT diokupasi oleh pedagang kaki lima. Hal tersebutlah yang membuat empat dari lima responden menilai jalur sepeda di Jakarta belum memadai.
Baca juga: Pembangunan yang Masif Dorong Polusi
Meski demikian, separuh lebih responden optimistis jika Pemerintah Provinsi DKI akan terus mengembangkan fasilitas jalur sepeda. Hal tersebut sudah tercantum dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018-2019.
Jika fasilitas jalur sepeda terus ditambah serta memadai digunakan, niscaya akan semakin banyak warga menggunakan sepeda sebagai sarana mobilitas sehari-hari. Tak perlu jarak jauh, sepeda juga bisa sebagai moda jarak pendek dari rumah menuju halte, stasiun, ataupun pasar.
Ke depan, sepeda bisa menjadi salah satu moda transportasi yang ramah lingkungan, aman, dan berkelanjutan bagi warga Jabodetabek.