Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
8 Mei 1998
Situasi semakin memanas di sejumlah daerah. Aksi yang berkembang di beberapa daerah bukan lagi sekadar aksi mahasiswa menyuarakan aspirasinya dengan berunjuk rasa. Unjuk rasa yang sebelumnya dilakukan mahasiswa dengan basis kampus ternyata semakin meluas ke masyarakat. Bahkan, aksi yang selanjutnya juga dilakukan oleh sejumlah kalangan masyarakat itu mulai menyulut aksi anarkis di beberapa daerah.
Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal Wiranto pun mengadakan jumpa pers di Markas Besar ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Dalam berita headline seperti disajikan Kompas, dia meminta kepada seluruh kalangan masyarakat dan mahasiswa agar menghentikan tindakan anarkis.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
”Kemarin saya melihat secara langsung keadaan di daerah Sumatera Utara, khususnya di Medan. Saya melihat kondisi prajurit ABRI yang mengamankan situasi. Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar kendaraan, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini semuanya mengingatkan kita bahwa sudah ada suatu kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” tegas Wiranto (Kompas, 8/5/1998).
Tidak tanggung-tanggung, dia menyampaikan hal tersebut dalam dua kesempatan terpisah. Selain menyampaikan senada juga dikemukakan Wiranto di Medan, Sumatera Utara, Rabu tengah malamnya, dan dalam jumpa pers di Markas Besar ABRI di Cilangkap.
Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto dalam beberapa kesempatan sebelumnya berulang kali menyampaikan jika reformasi harus dilakukan secara gradual. Namun, dia akhirnya melihat, jika masyarakat sudah tak sabar lagi dengan keadaan yang terjadi.
Baca juga: Reformasi Hanya Ada di GBHN
Wiranto saat itu mengingatkan, selain hanya akan merugikan rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi yang hebat, tindakan anarkis juga akan menghambat upaya pemulihan ekonomi dan merusak nama baik Indonesia di dunia internasional.
Semakin memanas
Berbagai aksi unjuk rasa di sejumlah daerah memang semakin memanas dan membahayakan. Di Medan, pada Kamis (7/5/1998) kerusuhan bukan hanya menyebabkan kerugian harta benda, melainkan juga, sampai 6 Mei 1998 saat itu, seperti diungkapkan Kepala Kepolisian Daerah Sumut Brigadir Jenderal (Pol) MA Sambas, kerusuhan menelan korban hingga 102 orang, dua di antaranya tewas, lainnya luka ringan dan luka berat.
Dua nyawa yang melayang tersebut karena terbakar di dalam toko serta seorang lagi ditembak di bagian pahanya saat yang bersangkutan menjarah kilang padi. Sempat juga beredar kabar jika korban yang tewas mencapai lima orang.
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
”Yang meninggal hanya satu orang, yakni anak berusia 13 tahun, karena tidak bisa meloloskan diri dari gedung yang terbakar,” kata Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen Abdul Wahab Mokodongan. Dalam kerusuhan yang terjadi di Medan itu, aparat menahan 51 orang dari 423 orang yang ditangkap sebelumnya.
Ditunggangi
Di beberapa daerah situasi aksi mahasiswa yang tadinya hanya berlangsung di dalam kampus ternyata meluas keluar kampus. Aksi massa mulai tidak terkendali, terjadi kerusuhan di sejumlah daerah. Sampai dua puluh tahun kemudian pun, tudingan bahwa aksi kerusuhan di sejumlah daerah ada yang menunggangi tidak dibuktikan di pengadilan.
Tudingan atau sinyaleman adanya pihak ketiga yang menunggangi aksi massa sehingga menimbulkan kekacauan di sejumlah daerah dikemukakan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Dibyo Widodo saat itu. Menurut dia, kepolisian menyinyalir ada unsur lain yang masuk dan menunggangi dalam kerusuhan di Medan tersebut.
Sejumlah kejanggalan memang memperkuat sinyalemen adanya pihak yang bermain api. Kerusuhan bukan hanya terjadi di Medan, bahkan hingga keesokan harinya secara sporadis masih terjadi di Jalan Brigjen Katamso, di daerah Tembung, Delitua, dan di daerah pinggiran kota lainnya.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Kerusuhan juga menjalar hingga ke Pematang Siantar, yang jaraknya sekitar 129 kilometer tenggara Medan. Di kota perkebunan itu yang merupakan kota kedua terbesar di Sumut, ratusan orang, termasuk pelajar SMA yang baru usai ebtanas, berarak melempari pertokoan dan menjarah isinya. Pemilik pertokoan langsung menyelamatkan tokonya dengan menutup tokonya segera. Suasana sangat mencekam dan jalanan pun lengang.
Kompas juga mencatat, aksi amuk massa juga terjadi di Padang, Sumatera Barat. Massa dari kalangan sivitas akademika, terutama mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, siswa SLTP dan SMA, serta masyarakat, melakukan aksi turun ke jalan. Aksi damai yang tadinya dikawal ratusan aparat keamanan berubah menjadi amuk massa. Ribuan orang menjadi tidak terkendali, mengobrak-abrik fasilitas umum, taman, kantor, dan toko, ataupun pusat pertokoan. Dalam aksi yang juga menghancurkan sedikitnya 10 mobil itu, lima mahasiswa, seorang siswa STM, dan seorang karyawan Plaza Minang mengalami luka serius.
Kapolda Sumbar Kolonel Boedi RK mengemukakan, polisi menahan dua orang, yang tertangkap tangan melakukan aksi pelemparan dengan batu.
Misteri yang masih gelap hingga saat ini dan sebatas kasak-kusuk adalah mengenai adanya pihak lain yang menunggangi aksi mahasiswa.
Baca juga: DPR Prakarsai Reformasi Politik
Aksi mahasiswa yang keluar dari kampus dijadikan pemicu untuk menjadi aksi massa dan menjadikannya sebagai sebuah amuk massa. Terkait adanya pihak ketiga yang menunggangi aksi mahasiswa tersebut juga disampaikan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto.
”Jadi betul yang saya katakan bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi para mahasiswa. Sudah jelas sekarang apa yang dilakukan masyarakat, yakni memanfaatkan mahasiswa yang keluar kampus adalah mencari keuntungan materiil dengan mudah tetapi melanggar hukum,” katanya. (Kompas, 8/5/1998)
Dia pun memerintahkan agar seluruh jajaran operasional ABRI menghentikan kegiatan anarkis semacam itu dengan tindakan tegas dan sesuai hukum. ”Oleh karena itu, kepada seluruh masyarakat, ABRI mengharapkan untuk secara persuasif dan edukatif, menyadarkan masyarakat lainnya agar menghentikan kegiatan-kegiatan yang secara jelas merugikan masyarakat sendiri,” tuturnya.
Mahasiswa dan masyarakat menuntut reformasi, dalam arti ”Soeharto harus segera turun”, sudah tidak bisa ditunda lagi.
Menurut dia, akibat berbagai aksi massa itu masyarakat menjadi terancam dan tidak tenteram. ”Toko-toko tutup, perekonomian lumpuh. Yang rugi juga masyarakat. Belum lagi adanya penilaian terhadap kualitas stabilitas nasional tentu akan menurunkan citra Indonesia di mata internasional. Pada bidang perdagangan dan perekonomian lainnya, hal seperti ini jelas akan merugikan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, agar ini tidak berlarut-larut, maka ABRI akan melakukan tindakan tegas. Saya mohon agar masyarakat membantunya,” katanya.
Reformasi, menurut dia, sudah menjadi agenda nasional. Dia mengharapkan mahasiswa yang menuntut reformasi itu menghentikan aksi moralnya. Dia pun mempertanyakan mengapa aksi mahasiswa masih terjadi di beberapa tempat.
Baca juga: Alam Memberi Petunjuk Ada Ketidakharmonisan
”Saat ini, sesungguhnya secara esensial reformasi itu sudah disepakati oleh berbagai pihak, yakni pemerintah, legislatif, ABRI, mahasiswa, kelompok cendekiawan, organisasi sosial politik, dan organisasi kemasyarakatan. Bahkan sudah diambil kesepakatan bahwa reformasi merupakan suatu kebutuhan,” ujarnya. Menurut dia, reformasi yang menjadi agenda nasional itu tinggal menunggu mekanisme dan aturan mainnya saja.
Namun, rupanya pernyataan tersebut dinilai sebagai upaya-upaya mengulur waktu. Mahasiswa dan masyarakat menuntut reformasi yang dalam arti ”Soeharto harus segera turun” sudah tidak bisa ditunda lagi.
Tuntutan itu juga yang sepertinya menjadi peluang bagi pihak yang menunggangi aksi mahasiswa dan masyarakat untuk menuju kursi kepresidenan yang diyakini akan ditinggalkan Soeharto. Aksi massa dan kerusuhan di sejumlah daerah rupanya ibarat strategi untuk menggiring aksi serupa mencapai puncaknya di Ibu Kota….