Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
16 Mei 1998
Jumat, 15 Mei 1998, spekulasi tentang mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden semakin menguat. Mengutip istilah yang muncul menjelang kejatuhan Presiden Soekarno tahun 1965, ”ibu pertiwi sedang hamil tua”. Hari-hari berat itu terasa menjelang jatuhnya Soeharto. Ratusan nyawa melayang menjadi korban kerusuhan.
Hari-hari berat itu tergambar dalam wajah halaman 1 harian Kompas edisi 16 Mei 1998. Dari tujuh berita di halaman 1, enam di antaranya terkait dengan gejolak ekonomi dan politik beberapa pekan sebelumnya. Hanya ada satu berita di luar itu, yaitu pertandingan bulu tangkis Piala Uber di Hong Kong. Dalam berita berjudul ”Elysa/Zelin Harus Main Tiga Set”, pasangan ganda putri Indonesia tersebut mengalahkan pasangan Inggris Joanne Goode/Donna Kellog.
Hari-hari berat itu terasa menjelang jatuhnya Soeharto. Ratusan nyawa melayang menjadi korban kerusuhan.
Enam hari menjelang menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998, Soeharto membantah mengatakan ”siap mundur”. Harian Kompas edisi 16 Mei 1998 menampilkan berita utama di halaman 1 dengan judul ”Presiden Bantah Katakan Siap Mundur”. Bantahan itu disampaikan Menteri Penerangan Alwi Dahlan setelah Presiden mengadakan pertemuan dengan Wakil Presiden BJ Habibie dan sejumlah pejabat terkait.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
”Saya akan madeg pandito, akan mendekatkan diri dengan Tuhan. Membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik, dan juga kepada masyarakat bisa memberi nasihat, bagi negara tut wuri handayani”. Begitu kata Soeharto seperti dikutip Alwi Dahlan.
”Jadi, kalau kita baca hati-hati ucapan ini, maka jelas bagi beliau yang penting adalah kelangsungan hidup negara dan bangsa ini, yang tentunya sangat berkait dengan kelangsungan UUD. Jadi, berarti, apa pun yang dilakukan, harus secara konstitusional. Jadi, jelas bahwa beliau tidak mengatakan siap mundur seperti yang telah banyak diinterpretasikan oleh banyak pihak,” kata Alwi.
Baca juga: Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Pernyataan Alwi Dahlan tersebut menanggapi berita yang dimuat harian Kompas dua hari sebelumnya, Kamis, 14 Mei 1998, berjudul ”Presiden Siap Mundur”, yang disampaikan di Cairo, Mesir. Bagi pembaca yang mengalaminya saat itu, berita tersebut terasa menggelegar karena diberitakan oleh surat kabar konservatif seperti harian Kompas.
Meskipun telah dibantah oleh Alwi Dahlan, opini publik telah terbentuk bahwa Soeharto akan mundur dari jabatannya, tinggal masalah waktu. Opini publik tersebut telah ditangkap oleh perwira Angkatan ’45 dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dengan membuat pernyataan menyambut baik dan menghargai berita di berbagai media massa tentang kesediaan Presiden Soeharto untuk lengser keprabon (turun takhta).
Harian Kompas menampilkan berita tersebut dengan judul ”Sambut Presiden untuk Lengser Keprabon”. Dalam pernyataan tertulisnya, tertanggal 15 Mei 1998, yang ditandatangani 14 perwira tinggi TNI-ABRI Angkatan 1945, dinyatakan, ”untuk merealisasikan keinginan itu perlu diselenggarakan Sidang Istimewa sesegera mungkin”.
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Sekretaris Jenderal PB NU Achmad Bagja menyatakan, ”Jadi sudah lama ada keinginan lengser keprabon itu. Bagi NU, diralat atau tidaknya pernyataan Presiden di Cairo, tidak menjadi masalah. Karena pernyataan itu sudah ada sebelumnya.”
Di tengah spekulasi Soeharto akan mundur atau tidak, di lapangan dampak kerusuhan masih terus terjadi. Foto utama halaman 1 harian Kompas edisi 16 Mei tersebut menampilkan 137 kantong jenazah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Korban tewas adalah korban kebakaran dari beberapa pusat pertokoan di Jakarta yang dibakar massa pada kerusuhan sehari sebelumnya. Berita terkait foto tersebut menampilkan judul ”Ratusan Penjarah Tewas Terpanggang”.
Kerusuhan di ibu kota dipicu oleh insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang berunjuk rasa beberapa hari sebelumnya.
Kerusuhan di ibu kota tersebut dipicu oleh insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang berunjuk rasa beberapa hari sebelumnya. Harian Kompas edisi 16 Mei 1998 tersebut juga memberitakan pernyataan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) Jenderal TNI Wiranto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR. Wiranto mengatakan, hasil penelitian sementara tim yang dipimpin Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Kolonel CPM Hendardji terhadap kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah menemukan berbagai fakta. Salah satu fakta awal yang ditemukan ialah penembakan itu dilakukan dengan peluru tajam.
Baca juga: Lambaian Tangan Terakhir Soeharto
Akibat kerusuhan tersebut, puluhan WNI bergabung dengan lebih dari 300 warga asing AS, Eropa, dan warga lainnya membanjiri Bandara Halim Perdanakusuma, Jumat, 15 Mei 1998, dalam evakuasi dari ibu kota Jakarta yang Kamis dilanda kerusuhan. Dalam berita di halaman 1 berjudul ”Halim Padat Pengungsi Warga Asing”, harian Kompas mengutip seorang awak pesawat evakuasi yang mengungkapkan, kota tujuan adalah Singapura, menggunakan pesawat Mafira Air dan MAS dari Malaysia serta jet penumpang F-28 Pelita Air Service.
Pemerintah berupaya menurunkan tensi tekanan rakyat yang berujung kerusuhan tersebut, antara lain dengan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) yang dinaikkan 5 Mei 1998. Kompas menurunkan berita di halaman 1 berjudul ”Harga BBM dan Tarif Listrik Dikoreksi”.
Kesepakatan penurunan harga BBM dan TDL itu dicapai setelah Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto diundang dalam rapat kerja gabungan dengan Komisi V dan Komisi VIII DPR di Jakarta, Jumat, 15 Mei 1998. Rapat dipimpin I Gde Artjana dan mengikutsertakan Menteri Keuangan Fuad Bawazier.
Hari-hari berat menjelang Soeharto berhenti menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang menjadi presiden.
Seusai lobi, I Gde Artjana mengumumkan, pemerintah bersedia menurunkan kembali harga BBM dan TDL antara 8,3 persen dan 20 persen, yang segera disambut setuju oleh anggota DPR. Penurunan harga BBM berlaku mulai pukul 00.00 tanggal 16 Mei 1998. TDL akan diturunkan pada tahapan kedua, yaitu Agustus 1998 sebesar 2 persen.
Baca juga: Perintah Soeharto Tak Didengar
Sebelumnya, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM dan TDL karena nilai tukar rupiah yang semakin lemah terhadap dollar AS sehingga membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena impor BBM yang harus dibayar dengan dollar AS. Infografik halaman 1 harian Kompas menampilkan rupiah yang menguat kembali setelah melemah selama empat hari.
Hari-hari berat menjelang Soeharto berhenti menjadi presiden tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang pentingnya menjaga kestabilan moneter dan ekonomi buat siapa pun yang menjadi presiden. Pada gilirannya kestabilan ekonomi akan membawa kestabilan politik.