Opini Artikel Opini Sikap Ilmiah Hadapi Pandemi

Pandemi Covid-19

Sikap Ilmiah Hadapi Pandemi

Negara memiliki otoritas untuk melakukan tindakan memaksa (coercive measures) dalam rangka menerapkan protokol medis pencegahan Covid-19 yang berbasis pada nalar kesehatan dan sikap-sikap ilmiah.

Oleh Masdar Hilmy
· 6 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Spanduk ”Kalo Kangen Videocall” menghiasi sebuah jalan di Desa Blaburan, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (3/4/2020). Pembatasan interaksi sosial di tempat publik dan keramaian diharapkan terus dilakukan untuk mencegah meluasnya pandemi virus korona baru.

Dalam menghadapi setiap pandemi, tak terkecuali Covid-19, selalu ada sikap-sikap non-ilmiah yang beredar di masyarakat luas sebagai konstruksi berpikir untuk memahami pandemi tersebut.

Sebagai konstruksi non-ilmiah, sikap-sikap itu tentu saja tidak berkorelasi langsung terhadap eksistensi pandemi tersebut—dalam pengertian mencegah dan menghentikan penyebarannya. Alih-alih, konstruksi non-ilmiah itu justru kian memperburuk persebaran pandemi dimaksud.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kerendahhatian dari seluruh elemen masyarakat untuk menyerahkan penanganan pandemi Covid-19 kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas terkait, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kementerian Kesehatan, dan pemerintah (via Satgas Pencegahan Covid-19).

Selebihnya, lembaga-lembaga non-otoritatif harus ”tahu diri” untuk tidak mengintervensi lembaga-lembaga otoritatif dan memperburuk situasi. Ada sebuah ungkapan populer, jika tidak dapat membantu menyelesaikan masalah, Anda jangan menjadi bagian dari masalah tersebut.

Alih-alih, konstruksi non-ilmiah itu justru kian memperburuk persebaran pandemi dimaksud.

Anakronisme perspektif

Yang harus dipikirkan dan disadari bersama sekarang ini adalah risiko tingkat mortalitas akibat hadirnya faktor-faktor penghambat penanganan wabah ini. Salah satu faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-19 adalah anakronisme perspektif yang beredar luas di masyarakat.

Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini. Dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah menjadi semacam ”kengototan”—untuk tidak mengatakan kekonyolan—sosial yang pada gilirannya turut menghambat penanganan Covid-19 ini.

Di antara sekian banyak anakronisme perspektif yang beredar di masyarakat, sekurangnya ada dua contoh yang paling mencolok. Pertama, anakronisme sosial-budaya. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita dicirikan oleh budaya komunitarian-komunalistik (baca: suka kumpul-kumpul, bergerombol) dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring.

Masyarakat kita dikenal memiliki ikatan sosiologis yang kuat melalui pola hidup gotong royong sebagai bentuk kepedulian dan empati sosial kita kepada sesama. Ikatan sosiologis tersebut sering dimanifestasikan melalui sentuhan fisik, seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi, dan semacamnya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Penumpang KRL commuter line duduk berjauhan saat perjalanan dari Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, menuju Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (17/3/2020) pukul 11.28.

Menghentikan—setidaknya untuk sementara—manifestasi komunitarian tersebut demi mencegah persebaran Covid-19 tentu saja bukan persoalan mudah bagi masyarakat kita. Tentu saja ada perasaan ganjil, kikuk, dan tidak lazim ketika mereka mengabaikan ”ritual sosial” sebagaimana biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang ketika masyarakat kita dipaksa menanggalkan kebiasaan sosial tersebut karena ada kontradiksi kognitif antara nalar kesehatan seperti menjaga jarak sosial (social distancing) dan nalar komunitarian tersebut.

Pengabaian terhadap norma-norma sosial di atas tentu saja dapat menimbulkan gangguan sosial-budaya karena norma-norma tersebut telanjur membentuk gugusan kebermaknaan eksistensial di kalangan masyarakat kita. Dari sinilah sebagian masyarakat kita cenderung mengacuhkan protokol medis pencegahan Covid-19 sebagaimana dikeluarkan oleh lembaga-lembaga otoritatif. Bagi sebagian mereka, protokol medis dimaknai sebagai upaya mereduksi kebermaknaan sosial yang telah menancap kuat di masyarakat.

Anakronisme kedua adalah konstruksi pemahaman keagamaan masyarakat kita yang berlawanan dengan protokol pencegahan Covid-19. Melalui beragam media sosial, kita disuguhi berbagai macam narasi keagamaan yang tidak  mengacuhkan, mereduksi, bahkan ”melawan” protokol medis pencegahan Covid-19.

Di antara narasi keagamaan yang cukup populer di masyarakat adalah menyangkut teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan, pandemi Covid-19 sebagai azab (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia, tidak perlu takut kepada siapa pun—termasuk kepada Covid-19—kecuali hanya kepada Tuhan, social distancing merupakan strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya.

Melalui beragam media sosial, kita disuguhi berbagai macam narasi keagamaan yang tidak mengacuhkan, mereduksi, bahkan ”melawan” protokol medis pencegahan Covid-19.

DIDIE SW

.

Anakronisme pemahaman keagamaan yang kontraproduktif dengan protokol medis pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua pihak—terutama tim medis sebagai garda depan paling berisiko—dalam menjinakkan dan menghentikan persebaran Covid-19.

Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar virus ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai penularan, efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim Satgas Penanganan Covid-19 dan pemerintah.

Nalar kesehatan

Jika dibiarkan, dua contoh anakronisme perspektif di atas menjadi penghambat penanganan persebaran pandemi Covid-19 yang pergerakannya semakin liar, masif, dan eksponensial.

Wajar saja jika tingkat mortalitas akibat persebaran virus ini di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara (8,46 persen) akibat kengototan sikap-sikap non-ilmiah tersebut. Sikap semacam ini telanjur menciptakan zona nyaman bagi mereka yang tidak terbiasa dengan pola hidup disiplin dan taat asas (compliance), dua syarat utama untuk mempercepat penanganan Covid-19.

Sepanjang menyangkut cara berpikir dan gaya hidup individu yang tidak berdampak langsung terhadap kehidupan publik, anakronisme perspektif di atas barangkali tidak perlu dipermasalahkan.

Namun, jika sudah berlawanan dengan nalar kesehatan dan kebijakan publik, negara memiliki otoritas untuk melakukan tindakan memaksa (coercive measures) dalam rangka menerapkan protokol medis pencegahan Covid-19 yang berbasis pada nalar kesehatan dan sikap-sikap ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak membebani negara dalam penanganan Covid-19. Sekali lagi, jika tidak bisa menjadi solusi, kita jangan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga harus membersihkan tangan sebelum masuk ke RW 008 Kampung Menteng, Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Kamis (2/4/2020).

Sikap ilmiah yang dimaksud dalam memahami dan merespons pandemi Covid-19 mewujud dalam nalar induktif sebagai mekanisme memahami realitas sosial. Nalar induktif adalah mekanisme kognitif sebab-akibat berdasar pada realitas empiris kehidupan masyarakat.

Sementara itu, nalar deduktif adalah realitas normatif yang jika diturunkan dalam realitas empiris tidak selalu diakronistik atau sejalan dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, yang terjadi adalah anakronisme perspektif sebagaimana dijelaskan di atas.

Konsekuensinya, menderivasi teks suci untuk menjustifikasi realitas pandemi Covid-19 juga tidak bisa dilakukan secara serampangan. Alih-alih, pendasaran nalar keagamaan dalam memahami pandemi ini hanya akan memperburuk situasi karena berlawanan dengan nalar kesehatan.

Oleh karena itu, akan lebih bijak dan maslahat jika kita serahkan persoalan pandemi Covid-19 kepada ahlinya. Jangan ada kengototan-kengototan (baca: kekonyolan) yang tak perlu. Nyawa kita jauh lebih berharga ketimbang memenangi perdebatan publik terkait penanganan Covid-19.

Dalam nalar induktif ini, yang berlaku adalah argumentasi aposteriori (evidencebased) dan bukan argumentasi apriori. Mengikuti Immanuel Kant (1878), nalar apriori adalah kognisi matematis-logis dari sebuah konstruksi konsep tertentu.

Alih-alih, pendasaran nalar keagamaan dalam memahami pandemi ini hanya akan memperburuk situasi karena berlawanan dengan nalar kesehatan.

Sementara itu, nalar aposteriori adalah argumentasi yang dibangun dari serangkaian fakta empiris yang telah diujikan secara ketat di laboratorium atau realitas empiris. Dalam bahasa Ibnu Taymiyah (w. 1328), kebenaran terletak di realitas kehidupan, bukan di akal pikiran (al-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan). Sekalipun logis, tetapi tidak didukung oleh fakta empiris, tidak bisa dijadikan sebagai dasar argumentasi untuk pengambilan keputusan dalam penanganan pandemi Covid-19.

(Masdar Hilmy, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya)